Bangun ketika matahari masih nyenyak. Menyantap hidangan di meja makan sambil menahan kantuk di antara suasana yang senyap. Menahan lapar dan dahaga. Melawan hawa nafsu. Berjalan di bawah langit terik melewati orang-orang sedang minus es kelapa di tangannya dan rokok yang menyala di tangan yang satunya, lalu kepul asapnya yang menabrak kepala.
Minum ketika azan magrib terdegar. Makan ketika waktu Isa berakhir. Lalu mengulangnya lagi dari awal. Begitu terus hingga satu bulan penuh. Hingga malam terkahir tiba, ketika suara takbir terdengar dari setiap celah. Rumah, gang sempit, kamar mandi, jalan-jalan raya, dan ruang tunggu bioskop. Bersama dengan petasan di langit hitam yang mengiringinya. Indah sekali. Menyambut hari esok, hari kemenangan.
Apanya yang hari kemenagan.
Kau bilang hari ini akan ramai. Tapi nyatanya, aku sendirian.
Kau bilang jangan menyerah.
Aku tak menyerah. Aku membersihkan rumah sendirian, dua hari dua malam. Meski biasanya kami sekeluarga melakukannya, tapi kali ini aku melakukannya sendirian. Membersihkan setiap kamar, ruang, kotak-kotak keramik yang sering di pijak, hingga langit-langit lantai dua.
Kau bilang teruslah berusaha.
Aku terus berusaha. Bahkan aku tetap membeli kue lebaran, sirup, dan beberapa makanan untuk hari lebaran, meski saat itu aku sedang tak punya uang. Tapi Kau lihat, aku berusaha.
Kau bilang berpakaianlah yang rapih dan bersih menyambut hari kemenangan.
Kau lihat? Aku sangat rapih. Aku mandi lebih lama dari biasanya, lebih basah dari semestinya.
Kau bilang sambutlah tamu dengan baik.
Tapi bagaimana, tak ada orang yang mampir untuk mengucap ‘minal aidin wal faizin’. Padahal aku sudah rapih mengenakan baju muslim putih dan celana jeans hitam panjang, tapi hingga menjelang siang pintu rumahku tak juga di ketuk.
Kau bilang sebelum meminta maaf ke orang lain, minta maaflah dulu ke orangtua.
Tapi bagaimana, sejak bangun tidur, ruang-ruang di dalam rumahku tetap kosong. Aku hanya terduduk di kursi sendirian. Padahal biasanya kursi itu diduduki ayah, juga mama di kursi sebelahnya. Lalu aku dan kakakku akan berdiri sibuk membuat es sirup dalam gelas kami masing-masing. Tapi kali ini tak ada apa-apa. Aku sendirian.
Apanya yang hari kemenangan.
Botol-botol sirupku masih tersegel rapih, dan gelas-gelas untuk meminumnya masih bersih. Biskuit-biskuit yang aku beli belum juga jatuh mengotori lantai. Bahkan, kue berwarna cokelat ke-emasan yang banyak orang suka itu juga belum ada yang menyentuhnya.
Apanya yang hari kemenagan.
Aku tak mencicipi ketupat buatan mama. Meski banyak yang memberi, tapi tetap saja, biasanya aku makan ketupat buatan mama.
Apanya yang hari kemenangan. Aku melewatinya tanpa keluarga.
Mungkin Kau benar, seharusnya sejak pagi aku di rumah sakit bersama ayah dan mama. Harusnya aku tak perlu repot membersihkan rumah, membeli kue, dan mempersiapkan segalanya untuk lebaran. Tapi Kau yang bilang, ini hari kemenangan. Bagimana aku telah menang, bila di hari kemenangan aku hanya melihat ayah terbaring tak sadar di ranjang dan mama yang menangis menyandarkan kepalanya di lengan ayah.
Aku tahu, di luar sana masih banyak yang melewati hari dengan lebih keras. Lebih keras dibandingkan hariku. Tapi, hanya saja, perubahan begitu menyakitkan. Aku tidak siap.
Ah, Tuhan.
Apanya yang hari kemenangan…
Bila begini jadinya, aku bahkan tak ingin menang.
Affandi, Tri
06 Juli 2016. Di ruang tamu, menunggu tamu.
Comments: no replies