Suatu masa, di sebuah desa di Selatan, terdapat rumah yang cukup luas dengan interior sederhana. Adalah Ella, Gadis berusia 22 tahun. Bertubuh semampai dan berparas manis. Rambutnya hitam, panjang bergelombang, persis seperti Ibunya yang hilang dua tahun lalu. Warga desa percaya bahwa Ibu Ella dimakan manusia serigala, tapi Ella enggan percaya, menurutnya hal seperti itu hanya ada di dongeng ‘Kerudung Merah’ saja.
Satu tahun sejak ibu Ella hilang, ayah Ella menikah dengan seorang janda yang punya dua anak perempuan, yang keduanya kini menjadi kakak tiri Ella.
“Ella, kemari sebentar,” Ella menghampiri ayahnya yang duduk di teras rumah.
“Ada apa, Ayah?” Tanya Ella.
“Malam ini purnama, ayah akan pergi berburu dengan teman-teman ayah.”
“Apa tidak berbahaya, Ayah?” Ella menatap ayahnya gusar.
“Tenanglah. Bila sudah larut, ayah akan menginap di rumah nenekmu. Tak jauh dari hutan.”
“Baiklah, Ayah. Aku akan buatkan makanan untuk kau bawa.”
Sementara Ella memasak untuk ayahnya, Ibu tiri Ella sedang sibuk mengecat kuku kuku tangannya. Kakak tiri pertamanya sedang melihat ibunya yang mengecat kuku kuku tangannya, dan kakak tiri keduanya sedang melihat kakak tiri pertamanya yang sedang melihat ibunya mengecat kuku kuku tanganya. Begitulah keluarga mereka. Manis sekali.
Malam pun tiba.
“Kruk kruk kruk kruk,” Suara burung hantu yang berdiri di dahan pohon pisang.
“…………..” Suara kunang-kunang yang berterbangan di bahu sungai.
“Arhsjasaihdklzopqoiweiunvcbja.” Suara hewan-hewan yang bercampur di dalam hutan.
Ayah Ella dan beberapa temannya pergi berburu. Sementara di kamarnya, Ella tak juga terpejam hingga larut, ia merasa tak tenang karena membiarkan ayahnya pergi berburu malam ini.
Keesokan harinya, para pemburu pulang ke desa, kecuali satu orang, ayah Ella. Yang tiba di rumah hanya berita duka, ayah Ella mati diterkam binatang buas di hutan. Kabarnya, sempat terdengar teriakan minta tolong, namun terlambat, ayah Ella tak terselamatkan. Jasadnya habis di gerogoti makhluk buas. Tak bersisa.
Mendengar kabar itu, tubuh Ella lemas. Hatinya berantakan seperti sepatu kaca Cinderella yang diinjak Robocop, hancur berkeping-keping.
Ella menangis. Ibu tirinya melihat Ella menangis. Kakak tiri pertamanya melihat Ibunya yang sedang melihat Ella menangis, dan kakak tiri keduanya melihat kakak pertamanya yang sedang melihat ibunya yang sedang melihat Ella menangis. Sedih sekali.
Kabar duka yang menabrak Ella itu, tak menghentikan waktu sedetik pun. Seberapapun hancurnya hati Ella, waktu terus berlalu.
Kematian ayahnya membuat Ella diperlukakan tak baik oleh ibu dan suadari tirinya. Meski yang di tinggali adalah rumah ayah Ella, namun Ella bak pembantu di dalamnya.
Seringkali ia dimaki, juga diperintah melakukan pekerjaan rumah dan menyiapkan makanan setiap hari.
“Ellaaaa!!!” Kakak tiri pertama Ella berteriak.
“Iya, Kakak.”
“Air habis, aku ingin mandi. Ambil air di sungai dan penuhi bak mandiku!!”
“Sungai cukup jauh dari sini, Kak. Dengan apa aku harus mengambilnya??” Tanya Ella, memelas.
“Ini! Gelas Dadu!” Ujar saudari tirinya sambil menyodorkan gelas dadu monopoli, “Ambil air dari sungai dengan gelas dadu ini hingga bak mandiku penuh!”
“Tapi, Kak…” Ucap Ella, sendu.
“Apa?! Kau mau membantahku! Aku bilang ibu nanti. Tak akan dapat makan kau hari ini!”
Ella tak berkutik. Ia menangis tersedu, melangkah menuju sungai sambil membawa gelas dadu monopoli di tangannya.
Ella terus saja bolak balik dari rumah ke sungai. Membawa gelas dadu monopoli berisi air di dalamnya. Begitu terus, sampai bak mandi saudari tirinya terisi penuh. Ella pun harus cepat, karena kedua saudari tirinya ingin bermain monopoli untuk menghilangkan penat dan mereka butuh gelas dadunya.
Dua minggu kemudian bak mandi itu terisi penuh. Ella sangat lelah. Setelah makan, ia pun istirahat dan tertidur selama satu minggu di kamarnya.
Air di rumah Ella sering mati, sehingga saudari tirinya merengek kepada ibunya karena selalu kesulitan untuk mandi. Ibu tiri Ella pun berinisiatif untuk membuat sumur dan menampung banyak air untuk persediaan.
“Ellaaaa!!!”
“Iya, Ibu.” Jawab Ella yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.
“Kita sering kehabisan air. Buatlah sumur yang dalam untuk menampung banyak air!”
“Tapi aku lelah, Bu. Lagipula, menggali dengan cangkul dan pacul adalah keahlian pria,” kata Ella, memohon.
“Tentu saja, aku mengerti itu.” Ella tersenyum, merasa senang karena ibu tirinya mengerti. “Maka itu, gunakan ini.” Lanjut Ibu tiri Ella.
“Hah??” Ella kebingungan.
“Gali sumur di halaman belakang dengan sendok nyam nyam! Sekarang!”
Lagi-lagi Ella tak berdaya. Ia pun menggali sumur di halaman belakang rumahnya dengan sendok nyam nyam milik ibunya yang dibeli di warung sebelah.
Ella terus menggali tanah. Perlahan, karena takut sendok nyam nyamnya patah. Sesekali ia beristirahat di bawah teduhnya pohon dan menikmati semilir angin yang datang.
Suatu ketika Ella amat kelelahan dan tertidur di bawah pohon yang tumbuh di halaman rumah. Lalu ibu tirinya geram, ia meyiram Ella dengan es bubble rasa cappucino cincau, hingga membuat Ella tersentak dan terbangun dengan tubuh yang lengket dan dikerubungi semut.
Ella kembali menggali. Ia terus bekerja menggali sumur, hingga sangat dalam.
Dua bulan kemudian, sumur itu selesai. Dengan tubuh gontai, Ella tumbang dan terjatuh ke dalam sumur. Namun karena kelelahan, ia pun tertidur di dalam sumur selama satu bulan.
Bersambung…
Baca episode berikutnya > The Fabulous Ella – Eps. 02
Comments: no replies