Baca episode sebelumnya > The Fabulous Ella – Eps. 04
Mata Ella terbuka perlahan. Sadarnya masih mengambang. Bersama lelahnya, ia mencari sumber suara yang membangunkannya.
Gaduh di semak-semak itu semakin terdengar, Ella melihatnya, melihat semak yang bergerak-gerak di tempat. Dengan rasa penasaran, Ella bangkit, meninggalkan pohon yang sedari tadi menjadi sandarannya. Ella melangkah pelan, mendekat dengan hati-hati. Jantungnya bergetar, tangannya gemetar, Ella menyingkap tudung merahnya yang berulang kali menghalangi pandangannya. Rasa ingin tahunya yang besar, membuat rasa takutnya tak ia hiraukan.
Kini Ella tepat di depan semak, masih gaduh dan bergerak-gerak. Tangannya mengulur meraih semak. Perlahan dan hati-hati.
‘HAAAH!!’
Teriak Ella, tersentak. Ia terduduk jatuh seketika, saat sesuatu melompat dari semak. Kini degup jantungnya benar-benar cepat. Matanya memandang pada satu tempat di mana sesuatu yang melompat dari semak itu berada.
“Oh, anak-anakku yang cantik.” kata ibu tiri Ella, saat anak-anaknya menuruni tangga.
Para pengawal melakukan tugasnya di rumah Ella, sementara pangeran hanya menunggu di kereta kudanya yang terpakir tepat di depan rumah Ella.
“Aku yang pertama!” kata kakak tiri pertama Ella.
“Ini anak pertamaku, namanya Gothel. Ia cantik bukan?” kata Ibu tiri Ella memperkenalkan anak pertamanya kepada para pengawal.
Gothel duduk di kursi, ia membuka lebar mulutnya. Para pengawal kaget melihat tak ada satupun gigi di dalam mulut Gothel.
“Lakukan saja!” ujar ibu Gothel.
Pengawal mencocokan gigi seri yang dibawanya dengan bekas gigi seri di gusi mulut Gothel.
“Ini tidak cocok.” kata salah satu pengawal.
“Apa maksudmu? Bagaimana bisa tidak cocok?” tanya Gothel.
“Bekas gigi seri di gusimu terlalu kecil, lagi pula, dengan tanpa satu pun gigi di mulutmu, kami sulit mencocokannya.”
“Lalu bagaimana kau bisa berkata tidak cocok bila kau sendiri kesulitan mencocokannya?!” tanya Ibu tiri Ella yang merupakan ibu kandung Gothel.
“Maaf nyonya,” kata salah satu pengawal, “Pangeran bilang, wanita cantiknya semalam hanya kehilangan satu gigi, kami pun para pengawal tak menemukan gigi lainnya di mana pun. Jadi tak mungkin wanita cantik itu kehilangan semua giginya seperti anak anda.” Ucapnya panjang lebar.
Ibu tiri Ella tak bisa berkata apa-apa. Gothel pun hanya terdiam dengan wajah kecewa, tubuhnya yang kurus tinggi dan tanpa satu pun gigi di mulutnya, membuat ia terlihat begitu menyeramkan.
“Kalau begitu, aku berikutnya!”
“Silahkan nona…” ucap pengawal sambil mempersilahkannya duduk.
“Rothel, panggil aku nona Rothel.” katanya, dengan angkuh.
Kini giliran adiknya, Rothel, yang duduk di kursi dan membuka lebar mulutnya. Para pengawal mencocokannya kembali. Terlihat satu gigi seri yang hilang di mulut Rothel. Pengawal mencocokan gigi seri yang dibawanya dengan meletakannya ke tempat gigi seri Rothel yang hilang.
“Maaf, nona Rothel. Celah gigi seri anda terlalu lebar. Sedangkan gigi seri ini begitu ramping.” kata pengawal kepada Rothel.
Di tengah hutan Selatan, Ella melanjutkannya perjalanannya menuju rumah neneknya. Ia masih belum mengerti apa yang dilihatnya tadi, begitu cepat, ia bahkan hampir tak percaya kalau ia benar-benar melihatnya, seekor kelinci putih yang berdiri dengan dua kaki dan mengenakan pakaian lengkap, juga membawa arloji yang berkilap. Meskipun begitu, tak ada waktu untuk terjebak dalam kebingungan yang panjang, karena hari sudah gelap, Ella harus cepat tiba di rumah neneknya, di ujung hutan selatan.
Hutan terasa begitu sepi bagi Ella. Ia jadi memikirkan ucapan orang-orang di desa yang mencegahnya masuk ke hutan. Orang-orang itu bilang bahwa ada serigala buas di dalam hutan. Kini, kesendirian dan kesepiannya membuat ia jadi memikirkan hal-hal buruk. Sambil terus berjalan, matanya sibuk memandang ke seluruh bagian hutan, wajahnya menoleh ke sekeliling dan terus berharap tidak bertemu serigala. Tudung merah yang membalut kepalanya, ia rapikan, sehingga semakin erat menutup kepalanya dan membuat ia merasa aman.
Khayalan buruknya membuat Ella ketakutan, langka kakinya semkain cepat, keranjang berisi jus anggur dan roti pisang yang Ella bawa untuk nenenknya pun ikut bergetar, seirama dengan getaran tangannya yang merefleksikan ketakutan Ella. Kemdian Ella berlari. Ia terus berlari, semakin cepat. Menembus semak belukar yang lebat, melewati pepohonan tinggi menjulang dan rantingnya yang jatuh berserakan di sepanjang jalan.
Ella kini merasa di ikuti, ia mendengar suara kaki yang berlari di belakangnya. Ya, ia sangat yakin itu. Semakin cepat ia berlari, semakin cepat pula suara langkah kaki di belakangnya. Semakin keras ia menjauh, semakin keras pula suara itu. Seolah-olah, sesuatu yang berlari di belakang Ella, benar-benar mengejarnya dan sudah semakin dekat. Bila Ella berhenti sebentar saja, hal buruk mungkin saja menimpanya.
‘Apa ini yang di alami ayah dan ibuku, di kejar serigala buas di tengah hutan selatan’, kata Ella dalam hatinya. Ia hampir menyesal sudah masuk ke hutan selatan sendirian. Ia tak mau bernasib sama seperti ayah dan ibunya. Mati tanpa jasad yang di temukan. Lenyap dengan kabar tak jelas.
“Tuan serigala, tolong jangan makan aku!” Teriak Ella di tengah pelariannya, “Aku hanya ingin menjenguk nenekku yang sakit di ujung hutan ini.” lanjutnya.
Sesekali Ella menoleh ke belakang, “Bila kau lapar, akan kuberi sebagian roti pisang dalam keranjangku ini.”
Tak ada jawaban, entah apa yang Ella pikirkan.
Ia terus berlari, kepalanya mulai pening, napasnya sesak tak beraturan. Lelahnya menjalar ke sekujur tubuh, dan, ‘BUUKK’, tubuh Ella terjatuh. Sebuah ranting menyandung kakinya, membuat tubuhnya terlempar jauh.
Ella terkapar tak sadarkan diri di tengah hutan selatan. Purnama begitu terang, namun sinarnya tak sampai jatuh menembus lebatnya hutan selatan.
“Ini adalah rumah terakhir, pangeran.” kata salah satu pengawal kepada pangeran.
“Ya, hari sudah gelap. Kalau begitu, kita akan kembali ke istana dan melanjutkan pencarian ke desa Utara besok.”
“Baiklah, pangeran.”
Kereta kuda pangeran dan para pengawal memutar arah. Desa Selatan tak memberikan hasil. Tak ada satu pun wanita yang cocok dengan gigi seri yang dibawanya.
“Tunggu!” ujar pangeran, tiba-tiba, “Kita tidak akan pulang lewat jalan yang sudah kita lalui.” lanjutnya seraya mengehentikan lajur kereta kuda yang ditumpanginya.
“Lantas kita akan lewat mana pangeran?” kata salah satu pengewal kepada pangeran.
“Kita akan memutar, masuk ke hutan dan sampai ke istana.”
“Maaf pangeran,” kata pengawal yang lainnya seraya merunduk kepada pangeran, “Bukankah sangat berbahaya melewati hutan selatan di kala malam purnama seperti sekarang?”
“Tak apa. Jumlah kita cukup banyak untuk menghadapi sesuatu yang buruk di dalam hutan.” kata pangeran dengan bijak dan tenang, “Lagi pula, kita sedang mencari seseorang, pulang dengan melewati jalan yang sama hanya membuat pencarian kita sia-sia.”
Semua pengawal merunduk mendengar pangeran bicara.
“Aku punya firasafat wanita itu ada di dalam sana.” ucap pangeran, sambil menoleh ke arah hutan selatan.
“Baiklah, pangeran Sadam.” kata para pengawal bersamaan.
Rombongan pangeran beserta para pengawalnya masuk ke hutan selatan menuju jalan pulang ke istana.
Di ujung hutan selatan, berdiri kokoh rumah tua nan sederhana. Di dalamnya, seorang wanita tua menggigil hebat di atas ranjang. Separuh tubuhnya tertutup selimut tebal. Wajahnya gelisah tak karuan. Keringat mengucur deras dari pori-pori kulitnya yang berkerut. Lampu kamarnya masih menyala redup, jendela-jendela dan pintu terkunci rapat, namun purnama yang sempurna terlihat jelas dari celah gorden di kamarnya.
‘TOK TOK TOK’
“Nek, ini aku, cucumu.”
Terdengar ketukan pintu yang disusul dengan suara lembut wanita muda.
Samar-samar, wanita tua di ranjangnya mendengar.
“Apa nenek di dalam? Tolong bukakan pintu.”
Suara itu terdengar lagi, bersama dengan ketukan pintu rumahnya.
‘TOK TOK TOK’
“Nek, aku bawakan roti pisang dan jus anggur yang lezat.”
Wanita tua yang terbaring di ranjangnya kini berusaha bangkit, tubuhnya masih menggigil. Dengan perlahan ia menggerakan tubuhnya.
“Nek, ini aku, Ella, cucumu. Bila nenek tak percaya, lihatlah, aku pakai tudung merah milik ibu.”
Wanita tua itu kini sudah bershasil berdiri. Tongkat kayu yang tak kalah tua dengannya, membantu ia berjalan. Langkahnya sangat pelan dan rentan.
‘TOK TOK TOK’
“Nek, cepatlah, di sini gelap dan mengerikan.”
Wanita tua itu sampai di pintu depan. Ia memegang penyanggah pintu dan siap menyambut tamunya di tengah purnama.
Bersambung…
Comments: no replies