Beberapa menit yang lalu, gue gak peduli dengan hari ayah. Beberapa menit setelahnya, gue tetap tidak peduli. Beberapa menit dari setelah beberapa menitnya, gue masih tetap tidak peduli.
Beberapa detik setelah gue berdiri dari closet, gue hanya tau bahwa gue harus menulis. Gue tidak pernah suka hanya mengandalkan ingatan. Atau, Leonardo di Film Memento bilang “ingatan bisa dibelokan”.
Sebelumnya, gue harus bilang bahwa ini bukan sebuah tulisan yang penting. Tidak perlu memutar otak untuk memahaminya, atau mempersiapkan cemilan dan kopi untuk membacanya. Gue hanya mau bilang beberapa hal…
Pertama,
Ayah, tidak perlu banyak menimbang apa yang harus kau lakukan untukku. Tidak perlu berpikir terlalu keras untuk membahagiankanku. Kita sama-sama tau, masa kecilku tidak seindah orang-orang di samping rumah kita. Mainanku tidak sebanyak seorang anak di dalam rumah besar itu. Tapi, aku hanya berharap kehidupan mereka tidak lebih baik dari kita.
Kedua,
Kau tahu, tidak terlalu menyenangkan harus berbagi ranjang dengan dua orang wanita yang lebih tua, kakak ku. Kenapa? Karena aku tidak bisa memainkan robot-robot bututku dengan leluasa. Anakmu yang pertama selalu saja berteriak jika mainanku berserakan. Sedangkan anakmu yang kedua selalu tertidur di atas ranjang, seharian. Sedang kau, terlalu banyak menghabiskan waktu di dapur.
Ketiga,
Aku rindu pergi ke sebuah toko kecil yang berjajar di pinggir jalan, yang tiap kita tiba kau selalu bilang, ini tempat langganan mu. Padahal aku tahu, kau pergi ke sana hanya setahun sekali saja, saat hari raya. Seharusnya juga kau tidak perlu susah payah mencarikan pakaian yang tepat untukku. Meskipun aku sadar, anak lelaki berumur 4 tahun belum punya selera yang baik, tapi kau juga tidak seharusnya memberikan anak lelaki ini, kaos tipis dengan warna terang dan motif yang feminim.
Keempat,
Aku tumbuh dengan baik, menjalani pendidikan dasar di sekolah islam yang sebenarnya tidak aku harapkan. Tapi bukan masalah besar, setidaknya aku bisa bilang ke orang-orang bahwa aku punya ilmu agama yang cukup, meskipun sepertinya makin lama makin pudar.
Kelima,
Sepertinya kau sudah tahu, aku seorang pecundang di sekolah menengah. Bahkan, aku tidak pernah menyapa wanita yang kusuka sejak pertama tiba di sekolah. Jika kau menganggap aku tidak pernah cerita padamu, maaf, karena aku sudah terlanjur putus asa saat itu. Lagi pula, kau juga sedang terlalu fokus pada sinetron di jam malam itu.
Keenam,
Terima kasih karena sudah memberikanku kesempatan masuk ke dunia yang tidak pernah terbayangkan. Bagaimana aku harus mengungkapkannya, tapi percayalah, aku sangat bahagia ketika menerima laptop pertama ku. Atau aku harus bilang satu-satunya laptopku, karena sampai sekarang laptop itu masih kubawa ke tempatku kuliah.
Ketujuh,
Aku tidak menyangka bahwa kehidupan kita semakin berat, ketika sekarang aku mengejar gelar di belakang nama. Tempat kesenian itu memang bebas, tapi aku tidak bisa sebebas-bebasnya. Namun jangan khawatir, aku selalu ingat pesanmu agar aku tidak berusaha menjadi orang lain, dan tetap bersikap apa adanya.
Kedelapan,
Jangan khawatir, aku punya tempat untuk tidur, tempat untuk menyandarkan kepala. Meski kita jarang bersapa di rumah, tapi sekali lagi, tenang lah. Tetaplah berada di dapur, ayah. Sehingga saat aku tiba di rumah, sambal buatanmu kini terasa enak dan lebih pedas dari sebelumnya. Oh, maaf. Kau tidak suka pedas, makanya aku selalu mengeluh jika memakan sambal buatanmu.
Kesembilan,
Terimakasih sudah bersikeras melakukan semuanya. Menutup-nutupi kegelesihanmu takan berhasil di depanku. Ketahuilah, aku selalu berharap kau berumur lebih lama dari yang lainnya.
Kesepuluh,
Selamat hari ayah, Ma.
Dari si bungsu kesayangan mama, yang kini tumbuh tanpa berharap menjadi dewasa.
Comments: no replies