Kamu absah persis hanya sejauh kira-kira. Tentang siapa dan tentang apanya, aku bisa katakan: “aku tahu itu!” Degup jantung di dalam tubuhku, bisa kurasakan, dan aku berketetapan ia eksis. Dunia ini bisa kusentuh, dan, dengan cara yang sama, aku berkeyakinan bahwa ia eksis.Itulah penghujung semua pengetahuan dan sisanya adalah konstruksi. Karena andai aku berusaha merengkuh diri yang aku merasa yakin (atasmu) ini, andai aku berusaha mendefinisikan dan meringkasnya, kamu laksana air yang mengaliri jari-jemari.
Aku bisa menyusun satu per satu aspek yang dapat kuterima, semua yang dihubungkan denganmu, latar belakang ini, asal-usul ini, hasrat ini atau kebisuan ini, kemuliaan ini atau kelemahan ini. Namun, masih tetap tak terdefinisikan bagiku. Di antara kepastian yang kumiliki tentang eksistensimu dan aspek-aspek yang kuupayakan untuk mengokohkan kepastian itu, jurangnya tak pernah bisa diuruk.
Dan tampaklah pepohonan, permukaan tanahnya yang berbongkol-bongkol, air yang bisa kucecap rasanya, aroma rerumputan, bintang-bintang pada malam hari, dan sore-sore yang menenangkan hati. Bagaimana bisa aku menolak dunia ini, yang daya dan kekuatannya kurasakan? Meski semua pengetahuan di bumi ini tidak membuat kuyakin bahwa dunia ini adalah milikku, kamu menggambarkannya kepadaku dan mengajariku untuk mengklasifikasikannya. Kamu menyebutkan hukum-hukumnya dan, dalam dahaga akan pengetahuan, aku akui semua itu benar. Kamu memilah-milah mekanisme-mekanismenya dan harapanku pun membubung.
Di tahap akhir, kamu mengajariku bahwa semesta aneka warna dan menakjubkan ini bisa diperkecil menjadi atom, dan bahwa atom itu sendiri bisa diperkecil lagi menjadi elektron. Bagus, dan aku menunggu kelanjutannya. Lantas kamu memberitahuku tentang sebuah sistem keplanetan tak kasat mata berupa elektron-elektron yang cenderung mengelilingi sebuah nukleus.
Kamu menjelaskan dunia ini dengan sebuah gambar. Lalu aku jadi sadar bahwa kamu tereduksi menjadi puisi: aku tak akan pernah paham.
Apakah aku punya waktu untuk marah-marah? Kamu telah mengubah ini–itu. Segala sains yang diajarkan kepadaku berakhir menjadi sebuah hipotesis, yang kejernihannya terbenam dalam metafora, yang ketidakpastiannya dipecahkan dalam sebuah karya seni. Untuk apa aku bersusah payah? Batas-batas kabur perbukitan ini dan hembusan angin petang hari terhadap batin yang tersiksa ini lebih banyak memberiku pelajaran. Aku telah kembali ke permulaan.
Aku menyadari bahwa jika melalui sains aku bisa meringkus fenomena dan menghitungnya, aku tak akan bisa memahami dunia. Entah aku menelusuri keseluruhannya dengan jari-jemariku, aku tidak tahu lagi. Dan kamu memberiku pilihan antara sebuah deskripsi yang pasti, tapi yang tidak mengajariku apa pun, dan hipotesis-hipotesis yang memaksa mengajariku, tetapi tidak pasti.
-Kamis, 6 Juli 2023
Comments: no replies