Pernah dimuat di majalah AKSI (edisi 3 no. 3 2015)
“Ma, kok di dada cewek itu ada asepnya?”
“Bukan nak, itu disensor namanya.”
“Kenapa disensor?”
“Soalnya jorok.”
“Kok, jorok? Emang ada tai di dadanya?”
Sekarang butuh imajinasi lebih untuk menonton film dan berbagai tayangan di televisi. Bukan karena kontennya yang sulit dimengerti, melainkan karena yang tersaji kini sudah melewati proses sterilisasi.
Belakangan, akan sangat sering melihat kabut di belahan dada wanita, atau tangan cacat pria yang menjepit rokok di sela jarinya. Belum lagi ada suara khas tukang kue putu yang muncul tanpa gambar. Sesekali juga, layar TV menjadi hitam seketika dan banyak adegan yang tiba-tiba hilang, membuat tayangan makin sulit dimengerti. Untuk memahaminya, kita butuh imajinasi lebih.
Lembaga sensor kita bekerja dengan sangat baik dalam mengatasi adegan dan tayangan yang dianggap amoral. Mengoreksinya dan membersihkannya dengan sangat rapih, sangat mendetail sampai-sampai penonton dituntut berpikir sangat keras untuk memahami hiburan di kotak ajaibnya.
Sejumlah karakter wanita yang dinilai terlalu seksi dengan belahan dada yang terbuka adalah mangsa dari lembaga sensor dengan metode ‘pengaburan’ alias blur. Hasilnya, anak-anak malah jadi penasaran, “memangnya di situ ada apa sih, kok burem-burem gitu?”, sementara ibu menyusui adik bayi merupakan hal yang biasa mereka lihat.
Puntung rokok juga dikaburkan, seolah penonton tidak tahu apa yang terjepit di jemari si karakter dalam film. Lagi pula, rokoknya di sensor tidak dengan asapnya. Jadi akan terlihat seolah si karakter mengeluarkan asap dari mulut dan hidungnya tanpa sebab yang jelas.
Setelah belahan dada dan rokok, senjata juga masuk ke dalam daftar yang paling sering mengalami metode pengaburan. Ada senjata berarti ada adegan kekerasan, maka pengaburan bertujuan supaya anak-anak tidak meniru adegan tersebut. Lalu bagaimana dengan tayangan olahraga seperti tinju, yang dengan jelas menunjukan jotosan keras ke wajah lawan. Kenapa tidak ikut di sensor?
Belahan dada, rokok dan senjata. Memangnya sulit ya kalau mau lihat bagian-bagian itu? Toh, di media lain tersedia lengkap.
Memangnya birahi dan libido penonton akan memuncak jika menyaksikan belahan dada Tsunade atau melihat Shandy Chick mengenakan bikini?
Adakah yang lantas bersikeras membuat kamehameha saat melihat Goku mengeluarkannya?
Apakah muncul hasrat untuk membunuh setelah menyaksikan Naruto melempar suriken ke musuhnya?
Sederet pertanyaan itu menumbuhkan pertanyaan lainnya, memangnya penonton televisi dianggap sebegitu polosnya?
Menyalahkan film untuk tingginya angka kejahatan adalah tabu. Sebab faktor kriminalitas tidak pernah tunggal. Menanamkan pemahaman masih jauh lebih baik daripada mengaburkan gambar. Tindakan yang senonoh, ucapan yang kurang pantas, dan lelucon vulgar sudah hidup di masyrakat sejak lama. Jadi, mungkin bukan televisi yang harus difilter, melaikan diri sendiri.
Jika belahan dada, rokok, dan senjata masuk ke daftar sterilisasi. Lalu bagaimana jika sebuah film menyajikan karakter wanita seksi memegang rokok sambil membawa senjata? Tentu saja, hanya akan ada kabut di televisi.
Kini, film telah kehilangan kesan bagi penonton. Penonton sudah kehilangan fungsi kotak ajaibnya karena sensor. Dan sensor, seolah memasung kreativitas para sineas.
Comments: no replies