Dewasa ini, pengguna Internet kian meluas dan berfluktuasi setiap tahunnya. Seperti yang diungkapkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), dan Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa jumlah pengguna Internet di Indonesia, tumbuh 13% atau mencapai 71,19 juta orang hingga akhir 2013 dibandingkan tahun sebelumnya. Penggunanya pun datang dari berbagai kalangan, usia, dan status sosial, dengan kebutuhan dan tujuan yang beragam.
Sebagai mahasiswa, saya sendiri cenderung bergantung dengan Internet. Keefektifan dan kemudahannya begitu memanjakan. Selain untuk hiburan dan interaksi, sebagai mahasiswa, Internet sangat berguna dalam menunjang perkuliahan, baik dalam menyelesaikan tugas maupun belajar di luar kelas.
Pesatnya pertubuhan gadget berupa smartphone yang beragam dan harga yang terjangakau, dengan cepat merambah ke para pelajar di tingkat SD, SMP, dan SMA. Rata-rata dari mereka, mengakses Internet dengan frekuensi di atas lima jam per hari, untuk media sosial dan pesan instant melalui ponsel pintarnya (smartphone). Media sosial yang populer diakses adalah Twitter, Path, Instagram, You Tube, Tumbler, dan Facebook. Sedangkan komunikasi pesan instan, dilakukan melalui WhatsApp, Blackberry Messenger (BBM), dan Line. Rata-rata dari mereka pun hanya membuka situs berita lewat tautan yang ada di Twitter atau mengenai hal yang mereka suka, seperti band favorit mereka, idola mereka, atau film kesukaan mereka. Celakanya, tanpa pengetahuan dan sikap kritis yang tertanam, mereka cenderung mudah untuk terhasut dan termakan opini publik yang tersebar bebas di Internet. Bahkan, situs berita yang resmi sekali pun tidak menutup kemungkinan bersikap tidak netral, alih-alih memiliki tujuan tertentu berupa politik, dan persaingan bisnis, Internet mengandung banyak informasi/berita yang harus dipertanyakan kebenarannya.
Internet tidak pernah bermakna tunggal. Bersama dengan hal positif, hal negatif berjalan di sisinya. Terlebih Internet merupakan media yang bebas, siapapun bisa menjadi pembuat, bukan hanya penikmat. Orang tanpa latar belakang yang jelas, pendidikan formal, juga tujuan yang lepas kendali, bisa saja membuat dan menyebarluaskan berita/informasi berkedok ‘fakta’ dan ‘analisa’.
Menurut saya, akademisi yang terhasut adalah hal yang cukup membahayakan. Maka dari itu, Literasi Media adalah bagian penting yang harus sesegera mungkin ditanamkan dalam setiap institusi/universitas di Indonsia. Orang-orang yang tak melek media dan apatis pada apapun yang media ungkapkan, terancam tersesat pada megahnya media, terutama Internet. Semakin berkembangnya Internet dan teknologi untuk memudahkan aksesnya, Literasi Media pun semakin menjadi mutlak bagi para penggunanya. Sebab Internet telah menjadi kebutuhan primer, maka tak melek media sama dengan buta. Buta pada dirinya, pada lingkungannya, dan pada dunia.
Tidak ada cara untuk menghentikan perkembangan internet, yang patut dilakukan adalah menyikapinya dengan bijaksana, tanpa harus meninggalkan Internet semata-mata untuk menghindari dampak negatifnya. Selain menanamkan nilai-nilai Literasi Media sejak dini, pengawasan orang tua dan kesadaran diri juga dibutuhkan.
Saya dan para mahasiswa lainnya, berharap pemerintah mengembangkan lembaga untuk memfilter Internet, hingga tidak bebas sebebas-bebasnya. Bukan seperti sebuah lembaga yang terus saja berfokus memblokir situs-situs porno, yang keesokan harinya sudah bisa diakses kembali melalui domain yang berbeda. Namun, lebih berfokus pada pengawasan situs berita, informasi, dan opini publik yang dapat memicu kesalah pahaman di kalangan masyarakat. Tentunya, lembaga yang bernaung tanpa kepentingan politik apapun, sehingga mahasiswa dan masyarakat umum dapat percaya sepenuhnya pada Internet, juga mengurangi kecemasan penggunaan Internet di kalangan belia.
Comments: no replies