Ah, gue udah semester empat.
Berbeda dengan sebelumnya, semester empat gak membuat gue pusing dengan suting. Kali ini Ms. Word gue lebih sering terbuka, untuk tugas, sampe gue mabok makalah, selalu ngeprint, sampe gue gak jajan, demi ngeprint.
Kali ini gue lebih sering bawa ransel ketimbang totebag, selain karena udah gak gondrong, juga karena selalu bawa laptop ke kampus.
Senior-senior favorit gue makin tersisa sedikit. Adek-adek kelas yang gemes suka pada bikin lemes. Anak-anak Seni Pertunjukan, rambutnya makin terang-terang. Gadis-gadis Seni Rupa, makin pendek-pendek roknya. Asdos Skenario membuat gue merasa telah lahir terlambat.
Bangsat! Gue kangen banget sama beringin!
Gue kangen berbaring di bawah pohon beringin, menghadap lurus ke langit, melihat cahaya yang menelusup melalui celah-celah ranting, dan membiarkan sinar itu jatuh tepat di kening.
‘Terkutuklah kamu otak dibalik penembangan pohon beringinku!’
Sejak semester empat, gue jadi merasa bahwa di kampus gue, setiap orang berlomba mendapatkan banyak kepercayaan orang-orang atas kemampuannya. Kepercayaan orang-orang terhadap kita, ternyata begitu penting dari yang gue pikir. Ternyata itu berhubungan langsung dengan masa depan gue sebagai film maker. Sayangnya gue bodoh, gue sulit membuat orang lain percaya atas kemampuan gue. Maka yang bisa gue lakukan hanya mempertahankan beberapa orang yang percaya dengan gue sejak awal. Sialnya, beberapa orang lainnya melunturkan kepercayaan itu dengan mudah. ‘Dasar babi! Kalo gue ibunya malin kundang, gue kutuk lo jadi bayi babi yang lahir prematur hasil dari pergaulan bebas bapak dan ibu babinya!’
Selain itu, di semester empat ada yang perlahan tumbuh besar, atau lekas menghilang, ada juga yang tiba-tiba meluap, dan ada saja yang jatuh mendadak. Seperti persaingan terselubung yang tersimpan di hati masing-masing. Pertarungan yang tanpa aba-aba, tiba-tiba mulai begitu saja. Saling sikut, saling sudut, carut marut, ‘kaya lo babi! Balik lagi aja lo ke ovum!’
So far, gue begitu krisis kepercayaan diri. Semester empat membuat gue tau ke mana dendam harus gue rawat.
Di semester empat, dua sahabat gue dengan resmi bersama kembali (duh, gue susah nyari kalimat yang gak menjijikan buat pernyataan ini). Lalu kami jadi sering bertiga lagi. Sering makan bareng lagi. Nongkrong bertiga lagi. Ngobrol bertiga lagi, sambil tertawa seirama.
Gue juga masih bersama dengan gadis yang sama di semester sebelumnya. Syukurlah, kejenuhan belum membutakan mata kami begitu saja.
Ah, semester 4.
Rasanya cepat sekali. Dan gue berakhir cepat sekali. Lebih cepat dari seharusnya.
Gue tidak tahu, hal-hal terjadi begitu cepat dan di luar kendali. Atu mungkin, gue yang terlalu lambat dan tidak pandai mengendalikannya.
Well, Terima kasih teman-teman, telah melukis kenangan di dahi gue dengan sempurna. Mimpi-mimpi kecil kita, mudah-mudahan tidak lenyap, hanya terkubur sementara, dan gue harap segera lekas tumbuh dan berbuah.
Kini, gue menutup semester empat dan seterusnya. Sayang sekali, padahal gue sangat ingin menulis blog dengan judul, ‘Menutup Semester Kedelapan’.
Kini, gue menutup semester empat dan seterusnya. Atau gue harap itu hanya wacana. Mudah-mudahan tidak seterusnya.
Comments: no replies