Pada enam bulan yang panjang, gue melewatinya dengan orang yang beragam. Meski tetap ada beberapa orang yang gak beranjak dari samping gue. Melewati banyak hal, menikmati banyak waktu yang kami buang.
Dulu, gue berpikir bagaimana caranya menjadi yang paling hebat di antara segerombolan anak hebat di satu kelas. Lalu kemudian gue berada di semester tiga, belajar di berbagai kelas, juga kenal banyak orang, dan gue kembali berpikir, bagaimana caranya menjadi hebat di antara banyak orang hebat dalam satu angkatan.
Semester tiga adalah enam bulan yang paling menguras banyak uang. Enam bulan yang sangat kurang ajar. Dengan tugas-tugas yang membuat gue teriak, “what the fuck my college!” di dalam kamar, sendirian, sambil melempar tumpukan kertas ke seluruh ruangan, yang beberapa jam kemudian gue kumpulkan kembali dengan rasa menyesal.
Bagi gue dan anak film lain di IKJ, terutama angkatan gue (2014), mungkin semester tiga adalah semester suting. Beberapa mata kuliah meminta kami untuk suting. Memaksa kami merogoh saku lebih banyak lagi, dan mengurasnya lebih dalam lagi. Tapi pada akhirnya, sutingan itu bikin gue kenal banyak orang dengan watak yang beragam, juga keahlian yang berfariasi. *Eh fariasi tuh tulisannya gimana sih? Pake f apa v? Variasi, fariasi, pariasi. Gak tau ah, bingung.*
Sutingan dan tugas yang lainnya gak bisa gue selesaikan sendirian, maka gue harus bekerja dengan banyak orang. Hal yang sulit dilakukan bagi gue, orang yang selalu canggung pada situasi sosial.
But, gue mencoba beradaptasi. Dengan sisa-sisa kegantengan yang gue miliki, gue berusaha untuk percaya pada orang lain, gak seperti sebelumnya, paranoid dan berprasangka buruk.
Dari beberapa orang baru yang gue kenal, ada beberapa yang gue tandai, yakni mereka yang gue anggap hebat karena cukup dikenal. Gue sempat merasa ingin jadi seperti mereka, menjadi salah satunya. Karena sejak dulu, gue gak pernah menjadi yang diharapkan banyak orang. Maka gue berpikir, bila gue menjadi yang paling hebat, mungkin orang-orang akan banyak berharap. Atau gue adalah orang yang diperbincangkan, diperebutkan, untuk hal-hal yang krusial atau sebaliknya.
Di penghujung semester, gue tiba pada sebuah sistem bernama ‘sidang’. Sistem yang secara tidak langsung menjadi sebuah pembuktian. Seperti para gladiator di tengah arena, semua film yang dibuat beraksi satu persatu-satu. Ada banyak film yang menarik, dibuat oleh orang-orang yang terasa asing bagi gue.
Kemudian pada suatu malam, gue berada di antara mereka yang gue tandai sebagai orang hebat. Seusai melihat banyak film yang lebih keren dari miliknya, mereka berkata satu sama lain, “Lain kali kita bikin yang lebih dari itu lah.” Lalu mereka tertawa. Gue hanya menatapnya heran. Sambil bertanya-tanya dalam hati, “kenapa gak bekerja sama yang lebih hebat?” atau “kenapa masih berharap kepada orang-orang yang baru saja kalah?” juga, “kenapa berharap pada sekumpulan orang yang mengecewakan, sementara di depan mata ada si pemenang?”
Di antara semua pertanyaan itu, juga keinginan gue untuk menjadi hebat dan menjadi harapan banyak orang. Gue mulai mengerti, bahwa sebenarnya, daripada berusaha menjadi yang paling hebat, gue lebih baik menjadi yang bisa dipercaya.
Dan diantara orang-orang yang tertawa diatas kekalahannya masing-masing, gue mengerti, mereka hanya saling percaya satu sama lain.
Comments: no replies