Ehem,
Malam ini, setelah bangun tidur, setiba di rumah sehabis ngampus, gue merapikan lemari pakaian. (Pembukaan yang rumit, sorry).
Menata ulang tumpukan yang tak beraturan sejak gue jadi hobi melempar-lempar baju ke lemari. Hobi yang akan gue tinggalkan, saat bibi gue sudah terus mengecam.
Gue melihat kaos yang dulu gue pikir hilang. Membuntal di sudut dan gak terjangkau mata. Gue juga mendapati jeans yang gak muat lagi di badan, dari tumpukan paling bawah. Celana dan kaos yang gak lagi seukuran, yang gue gak rela kasih ke orang walaupun udah gak mungkin gue kenakan.
Di sisi lemari yang lainnya, menggantung batik dengan corak nyentrik berwarna putih biru menyala, yang dibeliin bokap waktu gue kerja, dan gak pernah mau gue pake karena gue gak suka dengan desainnya.
Di proses gue melipat pakaian dan meletakannya kembali ke dalam lemari, gue menemukan t-shirt berwarna hijau gelap, dengan corak melingkar di bagian depan, yang sedikit agak pudar di beberapa bagian. Corak melingkar dengan bentuk aneh yang bertuliskan “Gurat Bumi” di bagian bawah lingkarannya.
Sesuatu yang aneh terjadi. Gue merasakan sesuatu yang melempar tubuh gue jauh ke belakang. Mengembalikan ingatan gue, jauh ke masa itu. Pada sebuah perjalanan membosankan di dalam sebuah bus besar dengan tas penuh baju ganti dan alat mandi, juga makanan ringan yang gue beli mendadak di sebuah sevel di pinggir jalan.
Selesai melipat semua pakaian dan memasukannya ke dalam lemari, ingatan gue terasa masih tertinggal. Lalu tiba-tiba gue ingin menulis ini…
….
….
Gue kangen Klaten.
Gue kangen Hotel Galuh.
Gue kangen saat hampir larut gue dan teman-teman kampus tiba. Lalu menunggu nama kami satu-persatu dipanggil untuk pembagian kamar.
Gue kangen menunggu nama gue disebutkan, sambil menahan beban tas berat di pundak dan meminum teh hangat selamat datang dari lobi hotel.
Gue kangen merasa awalnya gak nyaman saat gue dan orang-orang yang secara acak dikumpulkan dalam kamar yang sama.
Gue kangen skuteng yang mangkal di depan hotel pada malam pertama kami tiba, yang gue beli dan memakannya di sebuah tikar berukuran 2×1 meter yang disediakan pedangangnya.
Gue kangen menikmati kopi bareng temen-temen di warung depan hotel pada tengah malam. Gue kangen oboralan dan tawa kami di sana, juga udara dingin yang membuat rahang bergetar.
Gue kangen berebut kamar mandi pada setiap pagi.
Gue kangen masuk ke kamar-kamar orang lain, sambil bertanya “kamar mandinya kosong gak?”
Gue kangen kehilangan alat mandi.
Gue kangen kelupaan bawa shampo saat udah terlanjur basah di kamar mandi.
Gue kangen sikat gigi tanpa merk dan odol dengan rasa mencurigakan yang di sediakan hotel.
Gue kangen sabun hotel yang berbentuk pipih bulat. Yang selalu jatuh dari tangan dan gue ambil susah payah dengan jari kaki.
Gue kangen suara tokek di saat gue mandi sambil nyanyi di bawah shower. Dan suara tokek yang makin kenceng disaat gue berusaha gak peduli dan tetep nyanyi di bawah shower.
Gue kangen shower hotel yang butuh 13 menit untuk mengeluarkan air hangatnya. Dan gue kangen tersentak tiba-tiba saat air hangat dari shower mendadak jadi sangat panas.
Gue kangen handuk putih lembut milik hotel, yang waktu itu rasanya ingin sekali gue bawa pulang.
Gue kangen mengikat tali sepatu terburu-buru, dan lari tergesa-gesa menuju tempat makan.
Gue kangen harus merasa panik setiap pagi hanya supaya gak kehabisan sarapan, juga teh hangat di dalam semacam teko modern berwarna silver yang menyala, yang kadang hanya berisi air putih dengan suhu normal.
Gue kangen tempat makan kami yang luas. Dengan pemandangan panggung di depan dan kolam renang persegi di sisi kiri. Juga suara sendok dan garpu yang bertabrakan, atau ketika salah satunya menyentuh piring membuat suara nyaring.
Gue kangen mendengar obrolan kecil dari meja makan sebelah. Atau tawa keras yang tiba-tiba terdengar begitu saja dari meja makan di bagian belakang.
Gue kangen tiba di tempat makan saat semua orang sudah bersandar kekenyangan, dan mengisi perut dengan sisa-sisa lauk terakhir yang sejak awal dihindari orang-orang.
Gue kangen ngedumel dalam hati karena makanan yang disediakan selalu berupa daging, sedang saat itu gue adalah seorang vegan amatiran.
Gue kangen membawa dua gelas berisi teh hangat ke meja makan, sambil terbenak, “daripada kehabisan.”
Gue kangen mengitari hotel saat sore hari, melihat wanita-wanita lucu di depan kamarnya masing-masing, dengan rambutnya yang masih setengah basah dan celana pendeknya yang ketat. Penampilan yang gak pernah gue lihat di kampus.
Gue kangen mencicipi rokok murah yang temen gue beli di Malioboro dengan merk “KEBO.” Yang gue maki dengan keras karena rasanya yang aneh. Dan tetap gue hisap sampai habis sambil terus mengeluh sendirian.
Gue kangen duduk gak berdaya di atas sofa empuk di lobi hotel. Sambil memegang handphone dengan earphone yang menjalar ke telinga dan sesekali meneguk kopi dalam gelas plastik. Lalu membuka twitter dan menulis, “Kopi pertama pagi ini. Hangat, seperti cahaya terakhir dari sebuah supernova. Manis, seperti menikmatinya di bawah langit Jogja.”
Gue kangen memeriksa handphone berulang-ulang, menunggu balesan chat dari senior yang rumahnya gak jauh dari hotel gue menginap. Dan berharap kami bisa bertemu, berdua, hanya berdua saja. Lalu mengobrol dengannya pada kesempatan yang gak pernah bisa gue dapatkan di kampus.
Gue kangen mengendap-ngendap menuju kamar hotel, membawa gelas berisi teh hangat dari ruang makan.
Gue kangen main ke kamar temen gue, meski kamar kami berada di kawasan yang terpisah, yang mana gue harus menaiki tangga pertama dari pintu masuk, melewati pintu kamar seorang wanita yang selalu gue harap terbuka, sehingga gue bisa melihat dia dari luar. Atau jika gue beruntung, gue bisa melihat dia tanpa penutup kepalanya, di dalam kamar hotelnya.
Gue kangen bersenda gurau di kamar temen gue, dan menyeduh kopi dengan air shower yang kami set menjadi panas.
Gue kangen saat kami kehabisan topik dan bergelas-gelas kopi, lalu gue melangkah kembali menuju kamar gue sendiri dengan terhuyung-huyung lewat tengah malam. Menuruni tangga pertama dari pintu masuk, melewati kamar seorang wanita sambil tetap berharap pintu kamarnya terbuka. Atau jika gue beruntung, gue bisa melihatnya tertidur dengan pakaian minim melalui celah pintunya yang selalu gue harap terbuka.
Gue kangen menopang temen gue kembali ke kamarnya, dan mengehentikan langkah kami beberapa kali, karena cairan yang tiba-tiba memaksa keluar dari mulutnya.
Gue kangen kembali ke kamar saat semua sudah tertidur, dan harus berebut selimut dengan yang lainnya.
Gue kangen mencari remot AC dalam keadaan gelap, karena gak mau membangunkan yang lain dengan menyalakan lampu kamar.
Gue kangen terbangun dengan keadaan jemari kaki yang beku, di antara orang-orang yang sudah bugar, terbangun dari tidur nyenyak di bawah selimutnya, dan mandi tanpa diburu waktu.
Gue kangen Studi Penghayatan Lingkungan (SPL), Fakultas Film dan Televisi (FFTV), Institut Kesenian Jakarta (IKJ), 2014.
Gue kangen Klaten.
Gue kangen dua ratus dua puluh tiga hari yang lalu.
Ah Man, I Missed Hotel Galuh.
Comments: no replies