Aku tidak tahu.
Waktu itu aku melihat kabut di matamu. Juga kemurungan yang membalut wajahmu. Kamu bilang, “aku rindu rumah, aku rindu mama.” Lalu aku hanya berpikir bagaimana caranya menenangkanmu seperti semula. Atau setidaknya mengembalikan senyummu yang sebelumnya.
Di antara perasaan rindumu yang tak terbendung, kamu hanyut dalam musik yang kamu putar kencang. Sedang aku hanya mendengar suaramu bernyanyi keras, yang kadang kala sumbang dan terdengar seperti menahan sesak.
Kata orang, sentuhan bisa membuat seseorang yang bersedih menjadi lebih tenang. Lantas saat aku kecil, tiap kali pulang ke rumah dengan tangisan keras, mama selalu mengusap keningku lembut hingga aku terlelap. Juga menggenggam tanganku erat, hingga aku merasa nyaman dan kuat. Maka aku mengusap keningmu lembut, melewati rambutmu dengan sela-sela jari-jari ku. Sambil berkata dalam hati, “mudah-mudahan kamu merasa lebih baik.”
Maaf bila waktu itu telapak tanganku mengusap keningmu dengan lembut. Atau keningmu yang memang lembut. Hingga aku lupa bahwa kita baru saja kenal dan belum banyak bicara.
Maaf bila waktu itu aku terlalu banyak bicara. Aku hanya berusaha melewati keheningan itu, kecanggungan itu, juga rasa nyaman yang ku sembunyikan di dalam dan meletup pelan-pelan.
Maaf bila waktu itu aku bersikap tak baik. Meski niatku untuk menenangkanmu, tapi tetap saja, mungkin menurutmu bukan begitu caranya. Tapi maaf, aku tidak tahu lagi caranya.
Aku tidak paham.
Pada lain kesempatan, kamu bilang kamu rindu seseorang. Bukan rumah, bukan mama. Tapi dia, seseorang yang dekat denganmu sejak lama, namun tak bertemu cukup lama, dan entah kenapa tak juga bersama. Seseorang yang membuatmu merasa harus menjauh, meski kamu tak mau, tapi kamu tetap harus lakukan itu dan menahan rindu yang berderu.
Selanjutnya kamu juga bilang, kamu ingin sendiri dulu. Aku menurutimu. Membiarkan kamu dalam kesendirian.
Dan kemudian, kamu menghilang.
Tanpa mengutuk hubunganmu dan dia. Aku hanya ingin menjadi temanmu saja. Terlepas dari rasa yang timbul pelan-pelan, dan rindu yang tertawa kencang. Aku hanya ingin menemanimu saja. Ketika kamu rindu rumah, ketika kamu rindu mama. Menemanimu. Hingga aku pulang kerumah, hingga aku bertemu mama.
Lalu, kenapa kamu menghilang?
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada orang yang membuatmu rindu, kamu membuatku rindu.
Jadi, sampai kapan kamu menghilang?
Maaf bila saat itu aku banyak bertanya. Aku hanya ingin kamu bercerita agar tak sendirian menyimpannya. Dan berusaha menjadi pendengar meski nyatanya kamu tak ingin didengar.
Maaf bila aku terkesan memaksa. Aku hanya tidak mengerti kenapa kamu meminta sendiri. Lalu kemudian pergi. Benar-benar pergi. Lama sekali.
Maaf bila aku terus mengganggumu. Aku hanya sulit tidur. Karena tiap malam terus bertanya kenapa kamu menghilang, sambil berharap besok terang dan pesanmu ada di layar handphone-ku yang padam. Seperti dulu. Hingga membuatku kembali tenang.
Sekali lagi maaf,
Berhentilah berpikir aku buruk.
Atau setidaknya tak perlu marah hingga membuatku terpuruk.
Because, maybe…
I’m no good, you’re no better.
Jakarta, Maret 2016.
Dengan sedikit sendu, sambil mendengarkan Listen to me dari Mocca dan berusaha menulisnya tanpa terlihat menye-menye.
Comments: no replies