“Untuk setiap aib yang ogah diakui, bahasa Indonesia menyediakan jalan keluar yang menjengkelkan: Oknum.”
– Zen RS
Setiap tindak kejahatan yang dilakukan aparat, lembaga negara, maupun instansi pemerintah, media menyebut pelakunya sebagai “oknum”. Oknum aparat memukul warga sipil; Oknum anggota DPR pesta minuman keras; Oknum jaksa terima suap. Kabar serupa mencoang-coang timbul-tenggelam. Perkaranya mungkin berbeda, tetapi pelakunya sama. Selalu saja sama: Oknum.
Oh, oknum, siapakah engkau?
Tatkala bekerja, semua perbuatannya adalah konstitusional. Sekali menyimpang, oknum yang disalahkan. Seolah-olah apa yang dilakukannya, sebagai oknum, tidak ada sangkut pautnya dengan jabatan, instansi, maupun lembaganya. Biar dunia dijungkirbalikkan, kejora diubrak-abrik, keserampangan dan penyelewengan oknum harus dipisahkan dari lembaganya yang maha-sadik lagi maha-nirmala.
“Oknum itu sesungguhnya siapa saja yang bukan siapa-siapa,” kata Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional Jakarta. Sayangnya, oknum tak pernah benar-benar jadi siapa saja. Kita semua tidak bisa–dengan bebasnya–sekonyong-konyong menjadi oknum. Tidak pernah ada oknum aktris, oknum kru film, oknum seniman, oknum nelayan, oknum petani, apalagi oknum pemulung. Kalaupun ada, wartawan yang menulisnya pasti memang gemar saja menggunakan kata oknum, atau minimal, miskin diksi. Padahal, tidak bisa sembarang orang bisa diberi gelar oknum. Setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi, yang pertama jadi aparat, selanjutnya berbuat jahat.
Nalar yang berlaku dalam peranan “oknum” ini sebenarnya sangat sederhana–sesederhana isi kepala pewarta yang menulisnya. Jika ada aparat atau pejabat yang melanggar hukum, itu tidak berarti seluruh anggota yang berseragam sama akan berperilaku sama pula. Dalam frasa dangkal–sedangkal yang memakainya–jika berbuat baik, dia adalah aparat negara; jika berbuat jahat, dia adalah oknum. Alih-alih berimbas pada tercorengnya instansi pelaku, “oknum” berperan melepaskan pelaku dari benderanya. Alhasil, media telah yang menyuburkan impunitas institusi dan mengaburkan kepentingan publik akan lembaga, instansti, dan aparat negara yang sehat.
Asal-usul Oknum
Presiden Soekarno pernah mengatakan “oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,” sebagai salah satu sebab terjadinya “peristiwa G30S”.
Baca selengkapnya di Whiteboard Journal
Comments: no replies