Kami duduk berhadapan pada meja bulat dengan alas silver yang mengkilap. Lalu di tengah lamunan yang panjang, temen gue bilang, “LDR gini amat yah”, sambil meneguk botol kaca yang sebelumnya ia beli dengan menunjukan KTP-nya.
Gue menatapnya iba, “iya, gitu amat yah,” menggubrisnya sambil melumat sedotan warna-warni dari gelas berisi jus stroberi.
Satu jam yang lalu, gue terima kabar bahwa hubungan mereka putus. Alesannya cuma satu, jarak. Meski awalnya mereka sepakat untuk LDR’an, tapi waktu secepatnya menjawab.
Bagi gue, LDR yang berakhir karena jarak adalah LDR yang paling lemah dan payah.
Gue jadi mikir, tempat tinggal temen gue dan pacarnya itu berjarak kira-kira 300mil, lalu mereka LDR’an, dan hubungannya bertahan hingga tepat 3 bulan. Jadi kalo pasangan yang berjarak 500mil, hubungannya akan bertahan 5 bulan. Begitu juga dengan pasangan yang berjarak 820mil, kisah cintanya berakhir hingga 8 bulan lebih 2 minggu.
Kalo perhitungannya bukan begitu, lalu bagaimana memastikan lamanya sebuah hubungan yang berjarak? Gak ada. Karena masalahnya emang bukan ada pada jarak.
Tapi gue percaya ada jarak yang sebenar-benarnya, bukan dari berapa mil dua orang terpisahkan, atau seberapa lama salamnya tiba di handphonenya masing-masing.
Bagi gue, tempat berdoa yang berbeda adalah jarak yang sebenar-benarnya. Gak peduli seberapa dekat rumah mereka. Seberapa akrab kedua orangtuanya. Atau seberapa sering tinggal dalam satu atap. Bebeda Tuhan, tetap terasa menyakitkan.
Ketahuilah, meski tak pernah bertatap, tapi meminta pada Tuhan yang sama masih jauh lebih baik daripada berbeda tempat ibadah, bahkan meski tinggal seatap.
Mendengarnya menyapa dengan cara yang berbeda dari ujung telepon. Berdoa dengan cara yang berbeda ketika makan bersama, pada satu meja yang sama, juga dengan makanan yang sama. Mengabaikan salamnya yang sangat tulus dari luar rumah. Mengucapkan salam padanya sepenuh hati meski tanpa jawaban berulang kali. Kira-kira begitulah pemandangan dua orang yang bersatu namun berdoa dengan caranya masing-masing.
Gue jadi percaya kalo cinta bukan cuma buta, tapi juga bikin kita jadi pura-pura bodoh.
Orang yang pacaran beda agama selalu saja menutup matanya, seolah-olah buta pada jurang yang sangat dalam di depan.
Orang yang pacaran beda agama pada akhirnya akan tenggelam dalam kenangannya masing-masing. Sambil terus berkhayal sebelum tidur “seandainya agama kami sama,” mereka lelap dalam mimpi yang mereka bangun sendiri-sendiri.
Orang yang pacaran beda agama megerti bahwa hidup tak adil, namun tak paham bahwa beberapa hal tak bisa dipaksakan.
Orang yang pacaran beda agama akan selalu terbenak dalam hatinya, “gak peduli omongan orang lain,” sambil menutupi ketakutan yang disembunyikan dengan rapi, mereka melangkah dengan keyakinan yang seringkali padam.
Orang yang pacaran beda agama sejak awal tahu akhirnya akan seperti apa. Mereka mengerti tentang akhir dari segalanya. Tapi, orang yang pacaran beda agama hanya bisa seperti yang selalu mereka lakukan, berpura-pura buta.
Orang yang pacaran beda agama akan melangkah maju, mengabaikan segala ketakutan yang bersemayam di dalam kepala. Lalu berjalan dengan senyum yang penuh dengan kepalsuan.
Orang yang pacaran beda agama, selalu saja berharap. Hanya berharap. Terus berharap. Tanpa tahu jalan keluar. Hanya berharap saja. Harapan yang tumbuh sejak cintanya tumbuh. Yang makin lama makin besar bersama cintanya yang juga membesar. Harapan yang terus membesar sampai kehabisan ruang. Hingga mereka hanya bisa menangis tiap malam, atau menahan air matanya sambil melawan sesak di dada.
Orang yang cintanya beda agama, pada akhirnya hanya harus memilih. Penciptanya, atau ciptaannya.
Quality posts is the crucial to interest the users to go to see the web site, that’s what this website is providing. Luz Waylin Raskin