Pop hari ini berbeda dengan pop kemarin. Pop kemarin bukan lagi pop hari ini.
Bermula dari major label WMI yang memungut Kangen Band dari lembah bajakan di Sumatra, hingga munculah band-band dengan warna serupa, dan gelombang pop yang baru pun dimulai.
Gelombang musik pop di Indonesia, barangkali dimulai dengan melejitnya KLa Project pada debut mereka di tahun 1988, sebelum akhirnya didominasi Nike Ardilla, yang datang membawa “Bintang Kehidupan”, yang terjual hingga 2.000.000 unit di awal 1990-an. Lalu disusul Dewa, Slank, dan Gigi yang perlahan berubah menjadi band besar, beberangan dengan Krisdayanti, Titi DJ, dan Ruth Sahanaya, yang kemudian dijuluki 3 Diva Indonesia.
Jika gue tanya bokap musisi Indonesia mana yang paling nge-pop, dia akan menjawab Koes Plus. Sementara anak-anak di dekade 2000-an, sudah tentu menjawab Slank. Selain Iwan Fals, Slank juga menebar virusnya ke mana-mana dan terus tumbuh sebagai komunal.
Sejak kecil, Nike Ardilla selalu mengiringi hari-hari gue di rumah. Dulu, nyokap selalu memutarnya di VCD player tua kami, sampai-sampai “Cintaku Padamu” jadi nomor yang gue hafal kala itu. Beruntungnya, bokap selalu mendominasi satu-satunya VCD player kami itu, sehingga telinga gue punya kesempatan mendengar orang-orang dari dekade 70-an, meski seringnya Koes Ploes, meski hanya sebentar, sebelum Soneta Group mengikis selera bokap, dan dia pun tidak nge-pop lagi. Sial.
Koes Ploes dan Nike Ardilla adalah “salah dua” sebelum gue mulai mengenal musik pop di Indonesia. Sebelum akhirnya gue sadari telah melewati tiga gelombang besar musik pop di Indonesia. Yang pertama MTV, berikutnya Inbox, dan terakhir Spotifycore–tidak ada terminologi lain, gue menyebutnya begitu saja.
MTV jadi era di mana gue mulai sadar dengan “POP”. gue lahir di periode pertama itu, saat MTV adalah kiblat kedua kakak perempuan gue, dan menjadi VJ adalah cita-cita mulia mereka. Yang paling gue ingat kala itu, ada orang berwarna-warni menyanyikan lagu tentang Mars di layar kaca yang gue tonton sambil makan siang. Belakangan gue tahu mereka adalah Jimi Multhazam dan kawan-kawannya dari kampus seni, tempat jangkar gue tersangkut hingga kini.
Perkenalan gue dengan MTV tak lepas dari andil dua kakak perempuan gue yang menguasai remot TV waktu itu, waktu gue masih duduk di bangku sekolah dasar madrasah ibtidaiyah, di mana teman gue menyanyikan “Disko Darurat” hampir setiap hari di kelas. Berbeda ketika pulang sekolah, gue dicekoki nomor-nomor terbaik Tipe-X di rumah teman kelas gue yang lain. Kakak laki-laki dia yang memutarnya (terima kasih). Tidak sulit untuk gue sukai. Ya, karena sampai sekarang pun, tidak ada yang bisa menolak irama “Salam Rindu”, atau “Mawar Hitam,” apalagi “Genit,” yang menurut Sentimental Moods adalah anthemnya anak-anak Ska jaman sekarang.
Sementara kala itu juga, sekitar tahun 2002-2003, diam-diam gelombang indie sedang menyala di BB’S Twelve Bar Blues. Tak hanya The Upstairs, dari Bar yang letaknya di bilangan Menteng, Jakarta Pusat itu, band macam The Brandals, The Adams, White Shoes and The Couples Company, Teenage Death Star, Pure Saturday, Seringai, hingga The S.I.G.I.T, juga mulai dikenal, yang kemudian beberapa dari mereka akan nge-pop juga.
Berakhirnya kejayaan MTV, ditandai dengan acara musik di TV yang mendominasi. Dimulai ketika program musik bernama Inbox tayang perdana pada 3 Desember 2007 di SCTV, lalu disusul Dahsyat yang mengudara pada Maret 2008 di RCTI. Meski rival, keduanya menciptakan dan memiliki pasar yang sama.
MTV pun tumbang, dan era musik yang baru dimulai. Gue menyebutnya dengan Gelombang Inbox. Gelombang musik pop kedua yang sempat gue alami.
Meski program musik sejenis bermunculan, Inbox dan DahSyat tetap merajai pasar. Mereka punya andil besar dalam lahirnya band/musisi di dekade 2008 ke atas. Kala itu, musik pop sangat riuh di Indonesia. Band-band tak terhitung hilir-mudik. Ada Nidji, Letto, Ungu, d’Masiv, Andra & The Backbone, The Titans, Radja, Kerispatih, dan lain-lain, hingga Sheila on 7 yang kemudian dijuluki “band satu juta copy”.
Keriuhan itu kian menjadi-jadi dengan merebaknya band-band baru dengan warna pop baru: Pop (rasa) Melayu. Bermula dari major label WMI yang memungut Kangen Band dari lembah bajakan di Sumatra, dan kemudian, munculah band-band dengan warna serupa, seperti ST12, Repvblik, Matta, Vagetoz, Wali, Merpati, maupun Hijau Daun. Meski bagi gue, mereka jauh lebih melayu ketimbang pendahulunya.
Musik pop Indonesia sejak 2008 itu, disebut-sebut alami keseragaman dan penurunan kualitas oleh majalah musik Rolling Stone Indonesia. Banyak juga yang mencemooh kualitas musik band-band di lini ini. Saking riuh dan seragamnya, pengamat musik Denny Sakrie sampai menyatakan fenomena tren melayu itu menciptakan kesan seolah-olah pop melayu adalah potret musik Indonesia.
Lalu apa yang salah dengan band-band di atas, yang dituding membawa virus melayu dengan aura serba mellow itu? Sebetulnya tidak ada. Menurut Denny Sakrie, kekeliruan utama adalah ketidakpahaman kita terhadap apa yang disebut musik melayu.
Dari mana kita bisa secara lugas menyebut musik pop yang dibawakan ST12, Kangen Band, atau Wali sebagai pop melayu? Padahal, musik yang mereka mainkan adalah musik pop yang bertumpu pada pakem pola music Barat yang diatonik, dengan laras nada do, re, mi, fa, sol, la, si. Sementara music melayu sendiri justru banyak menggunakan laras pentatonik seperti do, re, mi, sol, si–tanpa fa dan la.
Tapi… lupakan perihal scale di atas. Sejujurnya, gue hanya tak suka lirik-lirik mereka, bukan musiknya. Jangan lupakan riff gitar maha-asoy “Yank” milik Wali, yang sampai-sampai membuat gue berpikir Apoy salah pilih teman. Kalau saja dulu dia nongkrong di BB’S, barangkali kini dia berlabel Apoy “The Brandals”. Tapi lagu “Tobat Maksiat” yang dirilis tahun 2013, sebagai nomor ke-7 dalam album religi mereka, membuat gue berpikir ulang. Musikalitas mereka, lebih dari sekedar Apoy yang salah pilih teman. Saat itu bagi gue, Tobat Maksiat punya intro terbaik yang pernah gue dengar di antara band-band sejawatnya.
Lain lagi Kangen Band. Grup yang digawangi “Babang Tamvan” ini, punya ritme vokal yang indah di kebanyakan lagunya. Sayangnya, hal itu tak dibarengi dengan keindahan vokal itu sendiri. Tapi gue suka mereka sejak keping Tentang Aku, Kau dan Dia bertebaran di belantara kaki lima. Part Solo Doddy di “Penantian Yang Tertunda” masih berkesan buat gue hingga sekarang (versi single-nya yang hanya ada di youtube). Benar-benar berantakan, seolah-olah itu dimainkan dengan spontan, tanpa perhitungan. Belum lagi album Yang Sempurna, dengan hits “Cinta Yang Sempurna”, yang menakjubkan sejak kali pertama gue dengar. Sebuah lagu cinta yang dibuka dengan tepat, tanpa berlama-lama, “Seperti bintang di langit, begitu cinta kita,” lugas, apa adanya, dan sangat ngepop. Ditambah pola vokal yang bersahutan, laki-laki dan perempuan, dan lagi-lagi dengan ritme vokal yang indah pula, serta kualitas vokal yang biasa saja. Bukan hanya saat itu, chorus lagu ini masih asik sampai sekarang.
Barangkali di era itu hanya Kangen Band lah yang paling produktif. Tahun berikutnya, 2008, mereka merilis album Bintang 14 Hari, dengan kualitas mixing dan mastering yang lebih baik, serta kualitas vokal yang masih sama. Keseragaman pop melayu terasa menular ke Bintang 14 Hari. Tahun berikutnya, Kangen Band masih tak mengecewakan. Album Pujaan Hati dibuka dengan “Terbang Bersamaku”. Tipe lagu yang sangat familiar di tahun 2009. Dengan permainan ride bell dalam ketukan 4/4 yang khas dan menawan. Yang paling gue ingat di album ini, lagu “Pujaan Hati” jadi salah satu track galau andalan gue waktu itu. “Mengapa kau tak membalas cintaku, mengapa engkau abaikan rasaku,” lirik yang menusuk bagi anak SMP yang hatinya lemah dan rentan seperti gue. He he he.
Berbeda dengan kangen band yang (bagi gue) masih ngepop, ST12 disebut-sebut rajanya pop (rasa) melayu kala itu. Namun, masih seperti yang gue bilang di atas, tidak ada yang salah dengan musik mereka, bahkan gue bisa katakan (hampir) berkualitas.
Nggak percaya? Private spotify lo dan denger lagi album P.U.S.P.A..
Tidak seperti pendahulunya di Inbox. Chalie hampir tak punya masalah dengan nada. Dia hampir selalu on not, bahkan ketika live. Track pertama, self title, boleh lo skip, karena gue yakin lo semua pasti hafal, atmosfernya serupa dengan “Aku Masih sayang” di nomor terakhir. Sementara track berikutnya, dibuka dengan piano di nada minor pada oktaf rendah, yang punya potensi jadi lagu galau selain “Saat Terakhir” di nomor ke-6. “Cari Pacar Lagi” juga punya permainan ride bell yang gak kalah asoy dari “Terbang Bersamaku”-nya Kangen band. Lagu Putri Iklan jadi favorit gue di album ini selain “Rasa Yang Tertinggal”, liriknya lumayanlah, lumayan bikin gue berimajinasi. Nomor selanjutnya punya intro yang mengingatkan gue pada salah satu hits milik Peterpan. Album yang tak buruk-buruk amat, meski masih sangat jauh jika dibandingkan dengan Truth, Cry, and Lie milik Letto, yang bagi gue adalah album pop terbaik di dekade 2000-an. Kiprahnya memang terasa singkat dibanding teman-temannya. Penyebabnya, gue rasa, mereka muncul terlalu cepat. Kalau saja mereka merilis “Ruang Rindu” di tahun 2019 ke atas, lagu ini pasti punya tempat di hati anak-anak indie.
Di daun yang ikut
Mengalir lembut
Terbawa sungai ke
Ujung mata
Dan aku mulai takut
Terbawa cinta
Menghirup rindu yang
Sesakkan dada
Noe benar-benar mewarisi darah penyair ayahnya. Ia bahkan pernah bertutur tentang indahnya pertemuan dengan Nabi Muhammad SAW dalam lagu “Bunga di Malam Itu”. Letto adalah satu-satunya yang punya lirik menawan waktu itu. gue juga sempat membaca sebuah jurnal yang membahas lagu-lagu Letto. Kata jurnal itu, lagu-lagu Letto punya nilai spiritual yang tinggi. Coba dengar lagi “Permintaan Hati” atau “Sebelum Cahaya”.
Bicara album terbaik, jangan sampai gak menyinggung album favorit gue, Perubahan milik d’Masiv. Album ini (bagi gue) adalah yang paling bisa merepresentasikan pop kala itu. Liriknya sederhana, lugas, nada-nada yang tidak kompleks tetapi menyenangkan. Hanya saja, vokal bariton Rian dan pembawaannya yang lesu mungkin membuat d’Masiv dilabeli band “galau”. Belum lagi keseluruhan nomor di album Perubahan yang secara tematik memang bicara soal cinta, kerinduan, dan patah hati.
Nah, kalau band Radja sangat boleh dihapus dalam gelombang pop kedua ini. Hampir semua lagu mereka punya nada yang mirip dengan lagu pop lain di lini mereka sendiri. Bahkan, beberapa lagu mereka punya kesamaan lebih dari 8 bar, yang berarti melanggar UU HAKI. Yang menyebalkan, vokalis Radja, Ian Kasela, mengamini plagiarisme mereka, “Mau gimana lagi, nada cuma ada tujuh,” katanya.
Di tengah-tengah pop melayu ini, muncul berbagai anomali. Salah satunya J-Rocks. Jebolan Nescafe Get Started 2004 itu, datang menawarkan Japanese Rock, meski tidak japan-japan banget, dan tidak ngerock-ngerock amat. Memang sih, mereka bermain di scale pentatonik, dengan varian akordnya yang tak jauh-jauh dari Asus4, G6, Fdim, Cmaj7, Faug. Iman (vokalis) juga sering berfalset ria ala-ala Toshi “X Japan”, tapi inti dari musik mereka adalah bassline Swara yang benar-benar merepresentasikan Japanese Rock itu sendiri.
J-rocks pun berhasil membawa para wibu duduk ke kursi penonton. Namun, hanya beberapa lagu mereka yang meledak di chart DahSyat. Mungkin, mereka keberatan nama. Ya. Keberatan nama. gue jadi ingat ucapan salah seorang teman di kampus saat gue bilang, “J-Rocks adalah angin segar buat pop Indonesia di panggung inbox,” lalu dia bilang, “Coba lo denger Dustbox.” Setelah gue ikuti sarannya, terlintaslah di hati, “Apaan nih J-Rocks, melayu banget.”
Namun, lain J-Rocks. Anomali yang sesungguhnya datang dari musisi asal Bandung. Di tengah lagu-lagu tentang jatuh cinta dan patah hati yang makin hari makin liar, mereka melompat ke atas panggung inbox, dan dengan semangat Rock n’ Roll meneriakkan, “Wanita racun dunia, karena dia butakan semua”. Wow!
The Changcuters adalah anomali sesungguhnya di gelombang pop kala itu. Ketika energi mereka masuk ke arus musik utama, Tyas Mirasih pun sampai kepincut dibuatnya.
Tampil seragam dengan celana sempit dan atasan kasual, yang akan mengingatkan kita dengan The Wonders, Changcuters berhasil membawa Rock n’ Roll ke layar kaca. Dan Qibil jadi pahlawan gitar gue waktu itu. Caranya bermain masih menyenangkan sampai sekarang.
Album kedua Mencoba Sukses Kembali yang diriliis tahun 2008, mendapat sambutan yang meriah, sampai berhasil membawa pulang AMI Awards di 2019 lalu, meski sebenarnya cetak biru mereka masih terlalu jelas terlihat. Seandainya musik mereka lebih orisinil dan otentik, gue ingin sekali menyembut Mencoba Sukses Kembali sebagai “Album Gitar” terbaik di Indonesia, sejak dekade 2008-an. Tengok saja, bagaimana Changcuters terang-terangan meniru salah satu hits The Cure di lagu “Hijrah ke London”, “Boys Don’t Cry”. Selain itu, “I Love You Bibeh” pun juga sangat jelas mengambil pattern “Honky Tonk Women”-nya The Rolling Stone. Meski demikian, kedatangan mereka tetaplah menyenangkan untuk pop Indonesia.
Lagu “Dang Ding Dong” adalah favorit gue di album kedua rasa perdana itu. Sebuah lagu yang sederhana, cerdas, dan unik. Jauh sebelum Endah N Rhesa bermain-main dengan banyak nama musisi dalam lirik “Liburan Indie”, atau Baskara yang memasukkan lirik dan judul lagu dari musisi lain di .feast maupun Hindia, Changcuters sudah memulainya lebih dulu. Dengarlah, lo akan mengerti maksud gue.
Tahun berikutnya, The Changcuters merilis album yang (sangat) nyentrik bertajuk The Changcuters dan Misteri Kalajengking Hitam. Seolah meninggalkan The Cure dan The Rolling Stone, di album ini mereka terlihat dipengaruhi lebih banyak musisi. Misalnya saja, lagu “Main Serong” yang mencuri riff milik Barrett Strong di “Money (That’s What I Want)”, atau lagu yang jadi favorit gue di album ini, “Rindu Ortu”, yang selalu bikin gue kangen rumah lama, lagu yang menarik sejak detik pertama, di mana permainan Alda dan Qibil menghanyutkan seperti biasa, pattern gitarnya mengingatkan kita pada “This Modern Love” milik Bloc Party. Dipa memasukan snare-nya juga sangat cantik pada bar kedua di intro, mengganti ruang yang seharusnya diisi kick dengan hi-hatnya yang dibuka pada setengah nada dari setiap ketukan penuh, sehingga terdengar menggantung dan sungguh nge-grove. Belum lagi bassline dipa yang mengisi ruang-ruang kosong di antara snare dan hi-hat yang terbuka tadi. Sejak pertama mendengarnya, gue masih berkesimpulan bahwa “Rindu Ortu” adalah lagu The Changcuter yang paling syahdu.
Nomor terakhir, “SDSB (Seputar Dago Seperti Biasa)”, juga jadi lagu favorit gue di album nyentrik ini. Seolah membuat gue jadi flamboyan. Apalagi pada bagian saxophone yang sungguh seksi. Pokoknya lagu ini keren. Dan, jangan lupakan juga “Senandung Pertemanan” yang punya melodi cantik.
Album berikutnya, Tugas Akhir (2011), terdengar lebih galak dan rockabilly, namun kurang ampuh menggemparkan pasar. Selanjutnya, album keempat mereka, Visualis, yang dirilis pada akhir 2013 lalu, adalah pembuka dari album trilogi mereka, yang selanjutnya bertajuk Binauralis (2016) dan Loyalis (2020).
Album trilogi itu seolah menggeser mereka dari ranah pop. Terdengar sangat The Stroke, bagi gue. Nggak jelek, tapi terlalu Comedown Machine. Terlebih ketika terakhir gue mendengar mereka main di Music Everywhere, di mana vokal Tria diberi reverb yang berat ala Julian Casablanca. Sekali lagi, nggak jelek sih, tapi ayolah, kalian terlalu The Strokes, terlalu Comedown Machine, terlalu Julian Casablanca. Bye!
Btw, lagu-lagu dalam album trilogi The Changcuters sebenarnya cukup menarik. gue rekomendasikan beberapa nomor berikut:
Akhirnya Indah
Wow, Deborah… (Musiknya catchy. Jenius!)
Lestarikan Pohon
Antariksa
Batu Bintang
Berangkat!
Hmmm.. Sudah Kuduga
Cari Rasa
Tak hanya musisi pendatang baru, Ahmad Dhani juga turut meramaikan pop hari itu dengan side project-nya, The Rock dan T.R.I.A.D.. “Kamu-Kamulah Surgaku” jadi lagu terbaik yang pernah dia tulis di kedua band itu. Sementara Peterpan, tidak perlu lagi dibahas. Oasis adalah cetak biru mereka, dan itu terbukti berhasil untuk kesekian kalinya.
Pop Indonesia juga sempat diracuni fenomena boyband-girlband yang berkiblat pada korea dan jepang. Tak kalah riuh dari pop (rasa) melayu, sampai-sampai, banyak anak-anak kecil yang didandani bak orang dewasa, lalu menari-nari di atas panggung. Sementara gadis-gadis dewasa, didandani bak anak kecil, lalu “bergoyang-goyang” di atas panggung. Bagian favorit gue dari era ini adalah, setelah cewek-cewek, dan cowok-cowok mirip cewek itu menari dan bergoyang di panggung, Tipe-X pun datang menggoyangkan:
Tapi jangan bilang mama
Aku takut nanti dia bisa marah-marah
Kalau tahu aku ini adalah boy band!
Judul lagunya pun tidak basa-basi, “Boyband”. Langsung ke akarnya. Mereka seolah mewakili perasaan kita semua. Lewat irama yang sangat ngepop, serta lirik pada verse dengan penggambaran yang materialis, mereka berhasil membuat satir yang indah. Lalu part kosong setelah chorus kedua seakan berisi kemuakan, kemuakan mereka, kemuakan kita semua, dengan membawa irama lagu ke arah yang berbeda, terdengar seperti campuran punk dan reggae, yang mana adalah identitas Tipe-X sendiri.
Bagi gue, permasalahan dalam pop di gelombang kedua ini bukanlah pada musiknya, melainkan pada penulisan lirik mereka, yang selalu seputar perselingkuhan dan patah hati. Fenomena sosial yang suam-suam kuku. Penuturannya pun semakin terdengar sangat medioker. Padahal band-band ini digawangi major label yang besar, namun akhirnya “selera pasar” menjadi kambing hitam, sehingga keseragaman pun tak terelakan. Anomali yang hilir-mudik, nyatanya masih kurang mampu mendominasi pasar.
Syukurnya, arus utama yang kian menggelegak itu pada akhirnya tiba di titik nadir yang mencapai taraf paling membosankan. Tipe-x hanya salah satunya, di tengah-tengah keriuhan pop yang melayu kala itu, tiba-tiba “Kepompong” dari Sind3entosca hadir bak oasis yang menyejukkan:
Persahabatan bagai kepompong
Mengubah ulat menjadi kupu-kupu
Persahabatan bagai kepompong
Hal yang tak mudah berubah jadi indah
Persahabatan bagai kepompong
Maklumi teman hadapi perbedaan
Persahabatan bagai kepompong
Na na na na na
Sementara dari scene indie, perlawanan terhadap pop melayu digalakkan Efek Rumah Kaca, yang dengan frontal melantangkan “Cinta Melulu”:
Nada-nada yang minor
Lagu perselingkuhan
Atas nama pasar semuanya begitu klise
Lagu cinta melulu
Kita memang benar-benar melayu
Suka mendayu-dayu
Sajian musik layar kaca yang banyak tipu-tipu itu juga mendapat counter dari panggung-panggung kecil. Gigs hingga pensi terus menjamur di berbagai penjuru. Perlahan, scene indie pun berhasil masuk ke telinga para remaja. gue yang tak bisa mendatangi panggung panggung-panggung kecil di luar sana, banyak dapat bantuan dari internet. Namun, sebagai anak dari keluarga dengan ekonomi biasa-biasa saja, paling-paling gue ke warnet hanya dua kali seminggu. Dan dengan uang jajan yang pas-pasan pula, gue hanya mampu ke warnet biasa, dibanding warnet gaming yang harga per jamnya jauh lebih mahal. Alhasil, dengan speed internet yang di bawah rata-rata itu, tak banyak yang bisa dilakukan. Menonton video Ariel feat Luna saja buffering-nya setengah mati.
Menikmati musik dari panggung-panggung offline dan internet juga menjamur pada kebanyakan remaja. Inbox dan DahSyat pun perlahan kehilangan separuh pasarnya.
Setelah di-counter oleh Tipe-X, Sind3ntosca, ERK, dan disikat oleh panggung-panggung kecil, gelombang pop kedua ini menemui musuh abadinya. Mereka dilindas habis-habisan oleh layanan musik streaming yang bertebaran.
Revolusi digital membuat akses terhadap konsumsi musik pun berubah. Industri mulai kehilangan kontrolnya karena akses itu membuat siapapun bisa memperoleh music secara cuma-cuma. Spotify dan Joox, yang terbesar kala itu, perlahan mengambil pasar mereka. Inbox dan DahSyat pun menemui ajalnya. Dan gelombang musik pop yang baru dimulai.
Menarik dan informatif bagi gw yang hanya penikmat tanpa paham betul perkembangan musik.