Mengapa Kebohongan Itu Memikat? Post-truth, Hoax dan Pertarungan Politik

 

Sebagai manusia modern yang aktif bermedia sosial, kita terpapar sedikitnya satu hoax setiap hari. Yang lebih buruk lagi, sering kali kita kemudian secara aktif menyebarkannya.

Persoalannya bukan semata ketidaktahuan tentang benar atau tidaknya sebuah berita. Sebagai konsumen media sosial, kita memiliki kecenderungan untuk memercayai berita dari kelompok tertentu yang sejalan dengan pikiran kita. Misalnya, dengan pilihan politik yang sama atau keyakinan pada ideologi yang sama. Sebagai gambaran, sebagian kelompok masyarakat sempat dikategorikan sebagai cebong dan kampret. Maka, apapun berita dari kelompok yang sama, akan diterima mentah-mentah. Artinya apa? Dalam situasi tertentu, kita secara sukarela menerima dalam posisi dibohongi. 

Mengapa kebohongan itu memikat? Karena pembohong, menurut Hannah Arendt, berbicara dengan logika dan harapan mereka yang dibohongi. Pernyataan Arendt tahun 1979 ini, sejalan dengan logika hoax yang hendak memuaskan audience-nya. Hoax melemahkan kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis, karena ketidakmampuan melakukan pengecekan ulang atas fakta dan kebenaran yang sesungguhnya terjadi. Romo dan filsuf Haryatmoko, menyatakan bahwa hoax menyuburkan polarisasi masyarakat karena meneguhkan keyakinan/ideologi masing-masing kelompok. Setiap kelompok cenderung menolak bentuk penalaran berbeda, meskipun masuk akal dan objektif.

Yang menarik, teknologi dalam media sosial turut mendukung mobilitas kebenaran yang bersifat afiliatif. Kecenderungan argumentasi komunitas virtual lebih algoritmis, karena media sosial akan menyeleksi konten yang ditampilkan kepada pengguna, berdasarkan pola informasi yang banyak dibaca sebelumnya. Hal ini menimbulkan komunitas virtual yang terbentuk melalui jejaring media sosial akan melakukan validasi diri dalam gelembung-gelembung udara ciptaannya sendiri.

Fenomena semacam ini disebut sebagai Post-truth.

Oxford Dictionaries mendefinisikan “Post-truth” sebagai “relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief” (berhubungan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi).  Awalan “post” bukan bermakna sebagai lawan dari “pre” yang artinya “sebelum” secara temporal. “Post-truth” bermakna bahwa kebenaran sudah dalam posisi senja, menjadi tidak lagi relevan.

Setelah Donald Trump memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat pada November 2016 lalu, Oxford Dictionaries mengumumkan bahwa “Post-truth” menjadi Word of The Year. Era Post-truth terkait dengan evolusi media menjadi media sosial, dan Donald Trump memanfaatkan gelombang transisi ini untuk menjadikannya presiden Amerika Serikat saat itu. Post-truth juga mewarnai proses referendum terkait keputusan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit).

Post-truth berkembang pada masyarakat informasi yang mengalami ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap politik. Menurut Llorente dalam Uno Magazine, “Post-truth adalah iklim sosial politik di mana rasionalitas membiarkan emosi berpihak pada keyakinan, walaupun fakta menunjukkan hal yang berbeda”. Keyakinan pribadi memiliki peran lebih besar dibanding fakta. Dramatisasi pesan jauh lebih penting daripada pesan itu sendiri. Narasi selalu mengalami kemenangan atas fakta yang ada.

Post-truth perlu dipahami dengan cermat karena ia bukan kebohongan dalam pengertian yang sederhana. Sebagaimana ditulis Michael Sawyer dalam “Post-truth, Social Media, and the ‘Real” as Phantasm,” ia berbeda dengan strategi komunikasi sebelumnya yang disebut dengan “spin”. Spin pada prinsipnya adalah strategi olah pesan politik. Sebagai gambaran, observasi terhadap fakta angka pengangguran antara tahun 2008 dan 2016, kemudian dapat dimanipulasi untuk keuntungan politik. Tingkat pengangguran merupakan indikasi ekonomi yang stagnan. Analisis alternatif oleh lawan politik melihat angka yang sama tersebut dan menyatakan bahwa tingkat pengangguran dapat dimaknai secara sebaliknya. Kedua cara membaca situasi ekonomi tersebut bertitik tolak pada data yang sama, namun memberikan makna berbeda karena perbedaan posisi politik.

Post-truth adalah fenomena komunikasi politik yang sangat berbeda dan memungkinkan penyangkalan atas fakta-fakta objektif. Post-truth melibatkan pembuatan basis data (yang dapat diakses dan dipahami oleh publik) dari rujukan mandiri yang tidak dapat diverifikasi melalui metode lain. Misalnya, ada pernyataan bahwa “virus corona adalah buatan manusia di laboratorium”. Perlu persiapan basis data yang mendukung pernyataan tersebut, para ahli yang menjelaskan mengapa hal itu benar, serta kerumunan anggota/ jejaring yang menyatakan persetujuan atas pernyataan ini. Pernyataan bahwa “virus corona adalah buatan manusia di laboratorium” menjadi benar karena “jejaring kesepakatan” mengatakan itu benar. Setiap upaya untuk mempertanyakan pernyataan tersebut dipojokkan sebagai upaya merusak seluruh sistem pengetahuan, dari pada upaya mempertanyakan pernyataan yang tidak benar.

Dalam konteks politik, klaim atas kemenangan seorang kandidat perlu persiapan basis data, di antaranya lembaga survei yang mengumumkan hasil quick count yang menyatakan kemenangan kandidat tersebut. Dengan dukungan penjelasan para ahli yang sejalan. Kemudian disemarakkan dengan pawai dan sorak-sorai kemenangan para pendukung. Sebagian realitas ini terjadi bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun.

Dulu, Habermas memaparkan public sphere atau ruang publik sebagai wilayah yang muncul pada ruang masyarakat borjuis. Fungsinya menjadi perantara masyarakat dengan negara. Pada ruang-ruang publik, masyarakat mengorganisir diri kemudian membangun opini publik. Saat ini, media sosial menjadi new public sphere. Perannya dalam proses demokrasi semakin dominan. Ia menjadi medium penyampaian proposal program politik para kandidat. Di lain sisi, masyarakat memiliki sarana untuk menyampaikan pendapat, juga mengawasi jalannya pemerintahan.

Namun, realitas bahwa media sosial berjalan dengan logika Post-truth perlu menjadi catatan tersendiri. Kebenaran dapat terdilusi menjadi sekedar pendukung keyakinan pribadi. Sudah menjadi kelaziman ketika pembaca tidak lagi mencari informasi yang kemudian menjadi dasar pendapatnya, tetapi justru mencari kebenaran pendapat untuk mendukung keyakinannya sendiri. Maka itu, kita harus menyiapkan diri dengan sikap kritis dalam mengarungi arus informasi yang tak pernah berhenti menghujani rasionalitas.