World Economic Forum, Sebuah Hegemoni

 

WEF
World Economic Forum (WEF) kembali berlangsung pada 25-29 Januari 2021 di Davos. Forum yang disebut-sebut penting bagi dunia ini adalah sebuah yayasan atau organisasi nonprofit, sebagian juga menyebutnya sebagai non-government organization atau NGO. Didirikan tahun 1971, dan terkenal karena pertemuan tahunannya di Davos, sebuah kota kecil yang indah di Swiss.

Pendirinya adalah Klaus Schwab, seorang ekonom kelahiran Jerman. Salah satu gagasannya yang menjadi perbincangan dunia belakangan ini adalah Industrial Revolution 4.0 atau revolusi industri gelombang keempat, yang bicara soal pemanfaatan Internet of Things (IoT) maupun Artificial Intelligence (AI) dalam kehidupan manusia.

Bagi sebagian kalangan, pertemuan WEF ini dianggap penting, karena dihadiri presiden maupun perdana menteri dari banyak negara besar, CEO perusahaan multinasional, serta selebriti kelas dunia. Dibutuhkan  27.000 swiss franc atau sekitar Rp420 juta (1 swiss franc = Rp15.585) untuk seseorang dapat hadir di sini. Bukan hanya itu, untuk dapat hadir, peserta harus lebih dulu menjadi strategic partner dengan iuran keanggotaan tahunan antara 60.000–600.000 swiss franc.

Biaya yang mahal ini dinilai sepadan, mengingat eksekutif negara maupun swasta hadir bersama di forum ini. Sebagian besar acaranya dipenuhi dengan pidato dan presentasi dari berbagai narasumber yang berpengaruh. Nah, break di sela-sela acara itulah yang menjadi momen berharga untuk menambah networking.

Joel Bakan, seorang profesor hukum di University of British Columbia, menganggap Davos sebagai “a great occasion to meet a lot of the big players”. WEF adalah salah satu di antara banyak event lainnya yang dihadiri raksasa-raksasa bisnis, entrepreneur di bidang teknologi canggih, pejabat pemerintah maupun NGO kelas dunia.

World Economic Forum adalah saksi ketika pada tahun 2005, Presiden Tanzania bercerita tentang betapa negaranya membutuhkan mosquito nets atau kelambu untuk memerangi malaria, dan artis Hollywood Sharon Stone secara spontan mengubah sesi tersebut menjadi ajang pengumpulan dana. Ia, sebagaimana ditulis dalam theintercept.com, berhasil mengumpulkan 1 juta USD dalam 5 menit saja!

Tema yang diangkat dalam World Economic Forum 2021 adalah The Great Reset, sebuah pemikiran dalam rangka “seeking a better form of capitalism” atau upaya mencari bentuk yang lebih baik dari kapitalisme.

Selalu ada tema besar tiap tahun yang kemudian jadi perbincangan dunia setelah itu. Tahun 2009 mengangkat tema “Shaping the Post-Crisis World”. Tahun 2010 mengangkat tema “Rethink, Redesign, Rebuild”. Tahun 2012 dengan tema “The Great Transformation”. Tahun 2018 bertema “Creating a Shared Future in a Fractured World”.

Inilah yang menjadi persoalan bagi banyak akademisi dan aktivis di berbagai belahan dunia. Seakan tema yang diangkat World Economic Forum adalah isu yang benar-benar vital bagi penduduk dunia ini. Padahal, ia hanya pemikiran dari segelintir elit dunia, yang bisa jadi persoalan yang diangkat menjadi tema tersebut adalah persoalan yang disebabkan kelompok elit itu sendiri.

Dengan jaringan eksekutif pemimpin negara-negara besar dan orang nomor satu di berbagai perusahaan multinasional, World Economic Forum menghegemoni pemikiran global, seolah tema yang diangkat harus menjadi perhatian masyarakat global. Sebagaimana seorang aktivis terkemuka dari Kanada, Naomi Klein mengatakan, “jika Davos tidak mencari bentuk yang lebih baik dari kapitalisme untuk menyelesaikan krisis yang secara sistematis diperparah oleh orang-orang yang bertemu dalam forum di Davos tersebut, maka bukan forum Davos namanya.”

Hegemoni berasal dari bahasa Yunani hēgemonía, yaitu penguasaan politik, ekonomi atau militer sebuah negara atas negara yang lain. Negara yang dominan disebut sebagai hegemon. Dalam politik internasional, hegemoni oleh negara yang berkuasa atas negara lain dilakukan dengan berbagai cara. Pendidikan misalnya. Negara yang lebih kuat atau maju memberikan beasiswa pada putra-putri terbaik negara berkembang dan negara miskin. Sehingga ketika selesai menempuh pendidikan dan memegang posisi penting di pemerintahan atau swasta, cara berpikirnya menurut standar negara maju tersebut. Hegemoni menjadi penting ketika di antara negara-negara maju tengah berlangsung pertarungan ideologi. Akhirnya, semakin banyak negara berkembang dan negara miskin yang putra-putra terbaiknya mengikuti ideologi negara yang memberikannya beasiswa, maka, ideologinya akan menyebar ke seluruh dunia.

Dalam perkembangannya, hegemoni berjalan melalui berbagai relasi sebagaimana juga terjadi pada World Economic Forum. Sekelompok elite dunia mengendalikan wacana atau perbincangan mayoritas penduduk dunia. Ketika terdapat sekelompok aktivis global yang menolak ide-ide yang dilontarkan dengan kecurigaan ide tersebut mengandung kepentingan terselubung kaum kapitalis, maka penolakan itu pun bagian dari realitas yang menjaga wacana hegemonik tersebut tetap berjalan.

Bagian dari produk rutin yang dihasilkan oleh World Economic Forum dan memiliki pengaruh besar adalah Global Competitiveness Report. Di dalamnya, negara-negara di dunia diberikan rating dan ranking atas daya saingnya terkait daya tarik investasi asing. Pada dasarnya report ini adalah kampanye global untuk memberikan kebebasan pada modal dari segala beban yang menyertainya. Misalnya proteksi atas industri lokal, peraturan yang mengurangi keleluasaan pasar, dan ancaman nasionalisasi atas investasi asing. 

Tema yang diangkat dalam World Economic Forum mungkin memang terasa keren sebagai bahan perbincangan. Namun, sejauh mana tema tersebut relevan bagi negara-negara berkembang maupun miskin, yang jumlah penduduknya mayoritas di dunia ini?