“Lah, lu udah pulang mba?” Sambil menyalakan lampu kamar, gue melihat kakak gue tertidur pulas di ranjangnya, tanpa tau bahwa kedatangan gue membangunkannya. “Masih siang coy, udah hibernasi aja.”
“Berisik lu! Ngapain sih?!” Dengan mata setengah sadar, dia memandang gue sedikit kesal.
“Gue mau minjem charger. Charger gue gak tau ke mana.”
“Tuh di laci, ambil aja.” Tangannya menunjuk ke arah laci pada meja di sudut kamar. “Udah sana, matiin lampunya.” Lalu memalingkan badan dan menutup penuh wajahnya dengan selimut.
“Iya. Bawel.” Gue mematikan lampu, menutup pintu dan menuju dapur meninggalkan kamar.
Kakak gue adalah seorang wanita karir. Dia bekerja di salah satu perusahaan di cikarang sekaligus nge-kost di daerah sana. Seminggu sekali dia akan pulang kerumah, lalu menghabiskan waktu liburannya dengan tidur seharian, dan kembali lagi ke cikarang untuk bekerja sampai weekend datang, dan pulang lalu tidur seharian. Begitu terus, berulang-ulang.
***
Di atas meja, terlihat beberapa makanan. Makanan yang seharunya diberikan untuk bibi, masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Sementara bibi masih mencuci piring di dapur.
“Bi, pulang jam berapa? Itu kok makanannya masih utuh semua? Gak doyan?” Gue bertanya pada bibi, sambil melihat isi kulkas yang berjarak tak jauh dari tempat bibi berdiri.
“Jam 3, Fan. Iya, nanti juga dimakan kok.”
“Nanti udah gak enak tuh, Bi.”
“Iya, Fan. Gapapa, tenang aja.”
Bibi gue ini baru bekerja di rumah gue sejak 3 hari yang lalu. Mungkin dia belum terbiasa dengan tradisi keluarga gue ini, atau masih terlalu sungkan untuk menghasbiskan makanan yang memang sengaja disuguhkan untuknya.
***
Hampir 2 jam lebih gue begini. Terlentang di kamar, membiarkan headset di telinga gue mengalirkan musik semaunya, ‘Jasey Rae’ dari ‘All Time Low’, mengalun keras di sana. Sampai kepenatan datang, gue beranjak keluar. Mencari udara segar dan mengisi perut yang sudah terasa lapar.
Di dapur, semua piring kotor gak nampak. Bibi juga sepertinya udah pulang, dan makanan yang utuh tadi, sekarang hilang tanpa sisa. Aneh. Siang tadi makanan di meja ini masih utuh tanpa tersentuh tangan. Lalu sore ini, semuanya hilang tanpa jejak, seperti dihabiskan seseorang dengan sekejap.
Gue menuju teras luar. Di sana, bokap gue sedang berbaring di kursi bambu favoritnya. Tempatnya menikmati minggu sore dengan tenang.
“Pa, bibi udah pulang? itu makanan bibi siapa yang makan?”
“Udah. Wah, gak tau. Mama kali. Barusan mamah pergi ke rumah tante, ada urusan katanya. Mungkin karena makanannya gak di makan bibi, jadi sama mama di bawa ke sana.”
“Parah banget.”
“Yaudah biarin aja… Daripada mubazir.”
Gue kembali menuju kamar. Meninggalkan bokap gue yang terbaring santai di kursi bambu favoritnya. Kursi bambu yang katanya berumur lebih tua dari gue, yang dia dapatkan dengan harga murah di sebuah pasar tradisional di bilangan Jakarta. Kursi bambu yang dia bilang bisa membayar capeknya seminggu penuh kerja.
Nyokap gue sedang ada keperluan di luar. Sementara kakak gue masih tidur nyaman di kamarnya. Nereka semua sibuk dengan dunianya sendiri. Hal yang rutin mereka lakukan pada waktu yang sudah ditentukan.
***
Gue melihatnya dari kejauhan, dari bangku panjang yang di letakan bersandingan dengan bangku panjang lainnya. Ina asik bercengkrama dengan teman-temannya di pelataran kampus. Kami sama-sama menunggu kelas jam 1 nanti. Satu capucino dingin di tangan kanannya, dan handphone toucshscreen di tangan kirinya, yang kira-kira berukuran 68x130mm. Gue meletekan segelas latte panas di samping dan membiarkan handphone gue mengalirkan irama ke earphone yang berselancar ke telinga.
Telapak kaki gue mengetuk-ngetuk, mengikuti ritme musik dari earphone di telinga gue. Sesekali gue mengobrol dengan temen di sebelah, dan sesekali juga membiarkan dia mengeluh sendirian tentang keadaan kampus. Ina mengobrol hangat dengan beberapa temannya, tidak jarang tawa mereka pecah sampai keras terdengar. Kadang Ina juga diam sejenak melihat sesuatu di handphonenya.
Kami hanya berjarak kurang lebih 8 meter. Dia dengan segelas capucino dingin, handphone dan temannya. Gue dengan segelas latte panas, music dan teman gue di sebelah. Di antara semua aktivitas dia dan aktivitas gue disini, kadang mata kami bertemu. Lalu gue tidak bernapas, gue merasa canggung. Sekeras mungkin gue berusaha tetap stabil dan memalingkan wajah. Lalu momen itu akan terus terjadi berulang-ulang.
***
“Nih kopi lo.” Faris menyodorkan kopi di tangannya ke arah gue. “Good day latte kan?”
Seperti biasa, jika tidak terlalu lelah, gue dan Faris akan menghabiskan malam di batmer. Sebuah tempat yang berada di halaman pintu masuk TIM (Taman Ismail Marzuki). Biasanya, kami ke sini untuk duduk, bengong, atau duduk sambil bengong. Untuk, ngopi, ngobrol, atau ngopi sambil ngobrol. Melepas penat karena seharian mikirin tugas kuliah. Sekaligus menunggu jalanan lengang untuk pulang.
Kami duduk bersebelahan, Kopi hitam dan latte panas ada di antara kami. Sesekali meneguknya dan sesekali membiarkannya dengan waktu yang cukup lama. Pandangan kami lurus ke depan, melihat sebuah gambaran Jakarta pada malam hari. Pantulan lampu dari gedung-gedung sekitar, kepadatan jalan yang tak wajar, dan bunyi klakson kendaraan yang bersahut-sahutan. Terlihat pedagang berjejer di sisi jalan, lengkap dengan plang bertuliskan ‘DILARANG BERDAGANG’ yang berdiri lemah di dekatnya.
“Ris, minggu nanti keluar lah. Gue gabut minggu lalu di rumah.”
“Gak bisa. Gue mau nonton kartun.”
“Najiiis… Gue sumpahin minggu nanti batre remot lu mati, terus konektor batrenya rusak. abis itu tombol power di tv nya koslet. Tukang servis mendadak kena stroke, dirawat inap di rumah sakit, terus tokonya tutup. Gak bisa nonton tv deh lo sekeluarga.”
“Anjir, ribet banget. Lo kenapa gak sumpahin aja TV gue koslet atau gak listrik rumah gue mati. Kelar… Pake ke remot sama tuka servis segala.”
“Hahahahh… Biar lebih detail coy.”
“Lu mending kalo minggu bete keluarlah. Ajak Ina jalan. Hahah.”
“Yee ekstrim lu. Mana bisa gilaak!”
“Dih ekstrim kenapa? Lu gak mau coba ajak dia jalan? Makan bareng atau ngobrol bareng kek gitu. Tapi ngobrol secara langsung, jangan lewat chat doang.”
“Mau lah ya. Tapi gimana, dia senior cuy, gue maba. Dia pinter, orang sibuk. Gue maba yang gak tau apa-apa. Kalo gue jadi dia pun gue akan pikir berkali-kali untuk jalan sama junior yang bukan apa-apa.”
“Yaelah, pesimis banget. Santai lah, umur kita sama dia sama kan. Kita Cuma nunda kuliah setahun aja.”
“Bukan itu njir masalahnya. Gue gak bicara soal usia. Gue bicara soal perbedaan status gue dan dia di kampus ini.”
“Iya iya ngerti. Tapi gimana ya. Cuma ngobrol kan, gak ngapa-ngapain, apa masalahnya.”
“Gue juga tau itu. Nih yah, tiap ketemu atau papasan di kampus, gue sama dia gak pernah negor, kaya orang yang gak kenal. Seolah-olah gak pernah ada kontak gue di handphone-nya, kayak gak pernah ada chating singkat di antara kami. Senyum juga sesekali aja kalo kebetulan dia lagi gak sama temen-temennya. Kayak ngasih gue isyarat untuk tetep jaga jarak.”
“Anjiiir parah. Hahahahh”
“Yee si kampret.”
“Miris Fan gue dengernya. Terus lo gimana pas tau itu?”
“Yaa biasa aja. Tetep chat dia. Gue ikutin permainan dia. Gue cuma gak mau buat dia ngerasa gak nyaman aja.”
“Yaa, yaudahlah, terserah lu sih. Lagi pula waktu lo pengin kenal dia, niat awal lo cuma mau kenal aja kan, gak berharap lebih. Jadi kalo hasilnya gini yaa bukan masalah.”
“Naah tuh ngerti lu. Yaudah, jangan maksa gue buat usaha terus njir. Hahahah.”
“Yaa tapi gak gitu juga sih sebenernya. Lu inget kata dosen bahasa rupa gak kemarin? Kalo suka sama sesuatu itu sekalian, kalo setengah-setengah gak akan dapet apa-apa.”
“Tapi lo baca materi konsep penceritaannya Dasar Seni Film gak sih? ‘Sebuah peristiwa harus ada sebab-akibat nya’.”
“Yaa yaa, terus? Udah jelas kan. Lo suka sama dia, karena dulu secara kebetulan kalian ketemu di kampus.”
“Apasih…” Gue gak menghiraukan ucapan Faris. Tanpa memandang ke arahnya, gue meminum kopi dari gelas kecil ini.
“Atau gue bisa bilang, lo dan dia secara kebetulan ketemu di kampus, akibatnya sekarang lo suka sama dia.”
“Pernyataan macam apa itu. Kebetulan itu gak ada, gue gak percaya dengan kebetulan.”
“Kebetulan itu ada, Fan.”
“Nih yah…” Gue mulai bicara, menghadap ke Faris yang sejak tadi menatap gue, menunggu untuk menggubrisnya. “Anggaplah begini, dua orang bertemu di SMA yang sama, lalu mereka pacaran sampai lulus dan menikah, mereka punya 2 anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Sampai suami istri itu berusia 60’an, si suami meninggal karena kecelakaan di tempat kerja.”
“Iya, terus??”
“Coba pikir, gimana kalo dulu si cewek gak melanjutkan sekolahnya di SMA itu? Pasti dia gak akan ketemu cowok yang akan jadi suaminya itu. Atau gimana kalo wanita masih di jajah pria? Gimana kalo dulu kartini gak menulis surat, mengurungkan niatnya untuk membuat derajat wanita sama dengan pria dan melahirkan istilah Emansipasi Wanita. Pasti semua wanita di negri ini gak ada yang keluar rumah, apalagi sampe bisa sekolah di SMA. Terus udah pasti dua orang tadi gak akan ketemu di SMA yang sama. Cinta mereka, hidup mereka akan jauh berbeda. Anak-anak mereka, dan gimana cara mereka mati, semuanya akan jadi berbeda.”
“Hem oke…” Faris menatap gue dengan sedikit kata yang keluar dari mulutnya ketika bicara gue mulai berjeda.
“Lalu gimana bisa semuanya adalah kebetulan? Kenyataannya, semuanya sudah di rencakan. Seperti pertemuan dua orang di SMA itu, dan seperti pertemuan gue sama Ina di kampus dulu. Bukan kebetulan, itu adalah pertemuan yang dirancang diam-diam oleh Tuhan.” Gue berhenti sejenak, lalu mengambil gelas kopi yang sejak tadi ada di antara kami. “Waktu kita baru lahir, Tuhan udah menuliskan kapan kita akan mati. Dan gak ada satupun yang tau itu. Kita bisa liat, bahkan kehidupan dan kematian pun sudah direncanakan sejak awal, jadi gue rasa pertemuan dan perpisahan pun juga begitu. Gimana cara lo ketemu sama pacar lo sekarang dan Tuhan sudah menuliskan kapan, di mana, dan bagaimana kalian akan berpisah nanti.”
“Oke, lo bener-bener bikin gue takut sekarang, mending kita skip aja apa topik ini.”
Gue dan Faris menutup dialog kampret itu dengan tawa yang keras. Sebuah tawa yang tulus dari faris, dan sebuah tawa yang menutup keresahan dari gue.
***
“Pulang jam segini mulu… Kebiasaan.” Nyokap gue berkomentar melihat gue baru sampe rumah jam 11 malam.
“Mama juga. Kalo jam segini nonton TV mulu… Kebiasaan.”
“Fandiiiii… kalo dibilangin jawab terus.”
“Becanda maa… lagian kalo nonton TV kan bisa pagi, siang, atau sore, ngapain harus tengah malem gini sih? curiga nih lama-lama.”
“Kalo pagi, siang, sore, mama kan ngurusin bapak, ngurusin kamu, ngurusin rumah. Terus TV juga bapak yang nonton, kalo mama nonton di kamar kamu, pasti nanti di recokin.”
“Jadi nonton jam segini biar tenang gitu? Biar gak ada yang ganggu?”
“Iyalah… kalo kayak gini kan berasa ini rumah milik sendiri.”
“Kan emang ini rumah kita, Ma. Dipikir selama ini kita numpang di rumah orang apa.”
“Sssstt… Udah sana naik, tidur. Besok kuliah kan? Mau di bangunin jam berapa?”
“Iya iya. Jam 6 aja. Besok Fandi kuliah jam 8.”
***
“Udah mau berangkat, Fan? Makan dulu tuh, sekalian panggil bibi di belakang, suruh makan bareng sini.” Sambil mengunyah makanan dari sendok di tangannya, nyokap gue menyapa dari meja makan yang sudah penuh dengan banyak makanan.
“Ah, mama ajalah. Bibi dikasih cemilan aja di diemin doang, apalagi disuruh sarapan. Paling nanti mama lagi yang ngabisin.”
“Lah kok mama? Bukannya selama ini makanan buat bibi kamu yang ngabisin?”
“Lah, enggak. Apaan sih, Fandi kira mama yang ngabisin.” Gue dan nyokap mulai bingung. “Berarti siapa dong ma kalo bukan kita?”
“Yaa gak tau.”
“Waah, misteri hilangnya makanan bibi. Hahahah.” Gue tertawa keras, nyokap tidak menanggapi karena sedang sibuk mengunyah makanan di mulutnya. “Jangan-jangan setan kali ma yang makan?” Gue melanjutkan dengan nada yang pelan.
“Hush! Jangan sembarangan kalo ngomong! Emang setan doyan bolu? Setan doyan Puding?”
“Yaa gatau… Tanya aja sama setannya. Hahahah.”
“Heh udah, Fan! Gak boleh tau ngomongin begituan siang-siang begini.”
“Iya ma, iya… Lagian gimana juga caranya ngomong sama setan sih.”
“Gak tau… Jangan sampe deh mama ngomong sama setan. Nanti dia minta brownis lagi, atau minta pizza gimana? Kali aja dia bosen mama nyuguhinnya bolu sama puding terus.”
“Iya, terus sekalian aja kita suruh dia bantuin bibi tuh, biar dapet makanan setiap hari.”
“Eh udah ah!! Ngaco ngomongnya!!”
“Yee, mama yang nanggepin.”
“Kamu lagian ada-ada aja! Masa setan disuruh bantuin bibi, mana bisa. Mending kalo setannya yang mana gitu, lah kalo pocong gimana? Emang dia bisa nyuci piring?”
“Ah tau ah. Fandi mau berangkat.“
***
Parkiran motor masih terlihat lengang, pegawai XXI di TIM belum ada yang terlihat sibuk menyapu lantai, kampus juga terasa sunyi tanpa banyak sumber suara. Dan gue baru tau, hari ini gue tiba di kampus lebih pagi dari biasanya.
Gue duduk di sebuah kursi putih berjejer empat di lantai dua kampus. Kursi putih yang menghadap ke pintu menuju balkon, kursi putih yang mengingatkan gue pada Ina, pada dialog pertama kami yang terburu-buru. Kursi putih yang melihat dua orang yang berkenalan, pada pertemuan yang dirancang diam-diam oleh Tuhan.
Waktu itu hari kamis, tanggal 9 Oktober 2014 jam 11 pagi. Gue yang baru selesai kelas dramaturgi dan Ina yang sedang menunggu kelas jam 1 nanti. Kami bertemu di pelataran kampus depan mading, sebuah tempat yang kurang tepat untuk bisa berdialog panjang. Lalu kami memutuskan untuk pindah ke tempat ini, tempat gue duduk sendirian pagi ini. Kursi putih berjejer empat di lantai dua kampus. Dan seperti pagi ini, pagi itu tidak ada orang yang berlalu lalang di tengah obrolan kami.
Pagi itu kami berdialog seperti dua orang yang tanpa sengaja bertemu di ujung jalan. Mempertanyakan hal wajar, membicarakan orang lain, membuat topik, lalu berharap itu jadi menarik, dan kursi putih ini tau, ada lelaki yang sedang berusaha menutupi kecanggungan itu. Kecanggungan yang didapat ketika pupil mata mereka saling bertatap
Gue masih inget, ketika gue merasakan sesuatu yang bergerak dari dalam dada, lalu berusaha keras untuk menyebunyikannya. Berpikir untuk mencari-cari kalimat lucu, agar Ina di samping gue bisa tertawa. Karena kata orang, cara mudah untuk membuat orang suka denganmu adalah degan membuatnya tertawa. Mudah mudahan itu benar.
Gue masih inget, setengah jam kemudian, tetap hanya ada gue dan Ina di kursi putih ini, dan terdengar samar suara beberapa orang yang berkumpul di depan toilet lantai 2.
Gue masih inget, waktu itu Ina memakai t-shirt cokelat dengan aksen kuning pudar di bagian tengahnya. Dia makin terlihat komplit dengan Jeans hitam dan sepatu hitam putih di kakinya. Gue masih inget, Ina membawa buku tebal dengan sampul putih yang menyala, yang diletakan di atas tas yang dibaringkan di atas kedua pahanya. Tas yang sama seperti saat kami pertama kali saling tahu. Tas yang berwarna sama seperti t-shirt-nya hari itu, dan sama seperti sekerang, reslesting tas Ina hari itu rusak di bagian depan.
Gue masih inget, hari itu gue merasa semesta mempermainkan kami. Lucunya, ketika suatu hari kita mengagumi seseorang dari kejauhan, dan di hari yang lain, kita duduk bersebelahan dengan orang itu. Seperti pagi itu, ketika semesta mengizinkan suhu tubuh kami nyaris bercampur.
Gue masih inget, 15 menit sebelum pergi, Ina bilang “Jam setengah satu gue cabut yah”, dan setelah itu beberapa orang mulai berlalu-lalang di antara kami. Sesekali Ina melihat sekelilingnya dengan panik. Disela-sela obrolan kami, bola matanya terus bergerak memperhatikan sekitar, pandangannya juga selalu beralih ke jam yang menggulung pergelangan kirinya.
Gue masih inget, waktu itu gue berpikir gimana caranya untuk tidak segera pulang dan mengulang momen ini lagi dengan baik.
Dan gue masih inget, 15 menit kemudian. Di atas kursi putih yang menertawakan gue dengan keras, di antara orang-orang yang berlalu lalang, dan suara yang samar terdengar dari depan toilet, Ina pergi. Lalu gue hanya diam, melihat punggunya dari jarak yang sangat dekat sampai makin lama makin jauh. Lalu makin lama makin berharap… ‘Momen ini bisa terulang lagi.’
Minggu berikutnya, gue kecewa melihat kursi putih ini ramai dipadati banyak orang, dan dari depan toilet terdengar suara yang cukup gaduh.
Dan pagi ini, ketika gue duduk sendirian di kursi putih ini, gue merasa semesta kembali mempermaikan gue, juga kursi putih ini kembali menertawakan gue dengan keras, karena berharap Ina datang dan momen itu bisa terulang.
“Eh!”
“Hah?” Tepokan tangan Faris di pundak, menyelamatkan gue dari lamunan panjang.
“Lo ngapain di sini?”
“Gabut, dateng kepagian gue.”
Faris duduk di samping gue, sementara gue tetap duduk di tempat awal gue berada.
“Ini tempat lo dulu kenalan sama Ina kan yak? Hahahh”
“Yee gak ada urusannya njir, gue emang dateng kepagian tadi.”
“Yaelah iya, santai… Ngomong-ngomong Ina apa kabar, Fan? Udah lama gak keliatan dia yak?”
“Orang sibuk mah gitu. Kemarin di chat dia cerita banyak sih.”
“Cerita apaan aja dia?”
“Dia bilang dia capek di Jakarta. Liburan nanti dia mau pulang ke rumahnya. Ngelupain IKJ, ngelupain tugas-tugas kuliah, ngelupain gimana sibuknya dia di Jakarta. Katanya, dia mau matiin hp terus main sama temen-temennya di sana.”
“Anjiiir. Sebegitunya yak.”
“Tau deh, belakangan emang ada yang beda sih sama dia. Walaupun sering ketawa-tiwi bareng temennya, tapi ada keresahan di matanya, kayak ngegambarin lelah yang bener-bener lelah.”
“Yaa lagian dia sibuk banget sih. Shoting sana sini, bantu praktika senior sana sini. Dasar orang sibuk.”
“Hahahh iya yak. Tapi lo tau gak, secara psikologi manusia bahagia ketika mereka sibuk. Sayangnya, kebanyakan orang cenderung males.”
“Iyasih. Kalo dipikir-pikir, kadang gue bete parah waktu gabut, gak ada kerjaan, gak tau mau ngapain… Berarti Ina bahagia dong yah?”
“Seharusnya sih begitu. Rasanya gue mau banget jadi bagian dari semua kesibukan dia, walaupun cuma jadi hal kecil di dalamnya.”
“Lo aja pesimis, ngarep sejauh itu lo.”
“Yee kampret! Serius nyet! Gue harap liburan cepet dateng deh, biar dia bisa cepet-cepet pulang.”
“Iya iya, gue tau, Fan. Rasanya emang miris waktu tau orang yang kita suka lagi dalam keadaan terburuknya dan kita gak bisa apa-apa. Gitu kan? Hahahahh”
“Ah, sotoy njir. Gak gitu. Biasa aja gue nyet!”
“Masih aja gak ngaku! Udah masuk kelas deh yuk. Udah ada dosen kayaknya.”
Gue dan Faris pergi menuju kelas, meninggalkan kursi putih itu, kosong.
***
“Assalamualaikum…” Jam 10 malam gue sampai di rumah. Salam gue pun tidak terjawab oleh orang-orang di dalam. Terlihat nyokap yang sedang serius melihat sesuatu di handphonenya sampai tidak tahu kalau anak lelakinya sudah pulang, lalu TV menyala dengan suara yang pelan tanpa di tonton siapa pun. Gue bergegas merapikan diri di kamar dan kembali lagi ke bawah.
Gue duduk disamping nyokap untuk langsung menyantap makan malam yang tersisa di meja, sambil menonton TV yang sudah menyala sejak tadi, dengan suara yang tetap pelan.
“Hallo…” Lalu tak lama terdengar keras suara kakak gue di handphone nyokap yang selalu di loudspeaker tiap kali menelepon.
“Hallo, Via, lagi di mana? Malem minggu tumben gak pulang?”
“Iya ma, ini pulang kok.”
“Eh, kalo mau pulang jalan sekarang! keburu kemaleman.”
“Iya iya, ini lagi otw ma.”
“Heh! Disuruh jalan sekarang malah otw dulu!!”
‘tut.. tut.. tut…’
“Kok malah dimatiin sih?!” Nyokap mencerau kesal sambil melihat ke arah handphone di tangannya
“Maaah… otw itu on the way, artinya lagi di jalan.” Sambil tetap makan, gue mencoba mereda kesalah-pahaman nyokap dengan kakak gue barusan.
“Oh gitu. Mama gakt au. Aneh-aneh aja sih kosakata anak jaman sekarang.”
“Yaahh, mau gimana lagi, zaman berkembang, Ma.”
“Kalo gitu, berarti harusnya sahur di jalan itu bukan sahur on the road dong namanya, tapi sahur otw.”
“Diihh… Yaa bener juga sih.” Gue meletekan piring yang sudah kosong ke meja. Lalu tetap duduk untuk menonton TV dan mengobrol dengan nyokap.
“Eh, kamu kok udah di sini aja?! udah makan sama ganti baju juga lagi. Pulang bukannya salam dulu.”
“Udah tadi, Ma. Mama aja yang gak ngeh, keasikan sama handphone sih. Lagian kalo mau nanya gitu dari tadi harusnya.”
“Udah tidur sana. Mamah mau nonton TV, jangan ganggu!”
“Yaelah… Kayak kalo gak nonton TV malem bakal sakit aja.”
“Suka-suka mama lah. Udah sana-sana ke kamar.”
“Iya-iya… Besok minggu, kuliah libur, jangan dibangunin pagi.” Gue menaiki tangga menuju kamar, siap menjatuhkan tubuh yang cukup lemah ini di atas ranjang.
***
Seiring mata terbuka, cahaya dari jendala tepat menabrak pelipis, dan jam digital di meja memperlihatkan angka 12:20. Hari minggu yang cukup menjenuhkan.
Selesai mandi gue turun untuk makan siang yang sebenarnya adalah sarapan. Atau baiknya disebut sarapan siang, atau sarapan makan siang, atau….
Dari kejauhan, tercium aroma masakan yang berjejer rapi di antara nyokap dan kakak gue. Sedangkan bibi sedang mencuci piring di belakang, dan seperti biasa, terlihat makanan khusus untuk bibi masih utuh tanpa tersentuh tangan. Gue membiarkan pemandangan lumrah itu walaupun masih ada banyak tanda tanya besar di sini.
“Fandi jam segini baru bangun. Sini makan bareng.” Nyokap menyambut gue dengan ucapannya yang agak sedikit marah, namun perhatiannya tetap ada di sana.
“Yaa gak tau, semalem gak bisa tidur.” Sambil duduk untuk makan, gue melihat kakak gue dan nyokap yang sudah di sini sejak tadi dengan makanan yang tinggal setengah di piringnya masing-masing.”
“Lah, mba Via tumben udah bangun?”
“Yee songong lu. Gue kemarin ketiduran di kosan. Jadi sekarang gak ngantuk.” Gak seperti biasanya, kakak gue kali ini ada bersama kami makan siang di sini.
“Eh ma, Via beliin iphone lima dong….” Sambil tetap makan, kakak gue berbicara kepada nyokap dengan nada memohon.
“Banyak banget lima?!”
“Maaa, iphone lima itu namanya, limanya itu semacam jenis, bukan kuantitas…” Dengan cepat gue menyela di tengah pembicaraan kakak gue dan nyokap yang mulai salah arah.
“Iya maksudnya itu, bener kata Fandi. Beliin dong Ma. Temen-temen Via udah pada punya tau.”
“Yaa anak mama yang beda dong. Temen-temen kamu punya, kamu enggak.”
Lalu tawa keras terdengar dari tempat kami makan. Kakak gue sedikit manyun mendengar respon nyokap atas permintaanya barusan, sementara nyokap dan gue tersenyum lebar sambil tetap makan perlahan.
Beberapa menit kemudian, kakak gue pergi kembali ke kamar karena ingin melanjutkan tidurnya yang dirasa masih kurang. Sementara nyokap yang speed makannya agak lambat masih asik mengunyah makanan yang tersisisa dipiringnya. Dan gue terdiam, lalu sadar ada yang kurang.
“Mah, bapak mana? Gak makan?”
“Bapak lagi keluar, Fan, dari pagi. Dia ngambek tuh kayaknya.”
“Diih ngambek kenapa?”
“Gara-gara tadi pagi dia liat kursi bambu yang di teras itu rusak, jebol gitu, udah gak bisa dipake.”
“Yaelah, kayak anak kecil aja.”
“Yaa namanya juga barang kesayangan. Tiap minggu nyantai di situ, terus tiba-tiba rusak, yaa pasti kecewalah.”
“Gak perlu segitunya tapi kan. Terus udah coba telepon belum? Tanya gih, Ma. Bapak di mana, pergi dari pagi juga.”
“Haahh… Nanti kalo laper juga pulang dia Ma. Eh, kamu di rumah aja yah. Abis ini mama mau keluar sebentar.”
“Iya, emang gak kemana-mana juga.”
Selesai makan dan istirahat sebentar di kamar, gue turun. Di atas meja, lagi-lagi terlihat makanan bibi yang masih utuh. Lalu gue menuju teras, terpampang jelas kursi bambu favorit bokap yang tidak lagi berdiri kokoh. Beberapa kaki penopangnya patah, alas duduknya jebol, dan tiap sisinya sudah tampak reot. Gue jadi inget terakhir kali melihat bokap dengan tenangnya duduk di sini dan kursi bambu ini masih terasa nyaman untuk bokap pada waktu itu. Lalu sekarang semuanya berubah.
Di tengah lamunan gue melihat kursi bambu ini, suara bibi memecahkannya.
“Fan… pulang dulu ya.” Sambil pamit, bibi melewati gue dengan kedua tangannya yang memegang pelastik berisi penuh dengan makanan.
“Iya, Bi…” Gue bengong, berpikir, isi pelastik yang dibawa bibi terlihat tidak asing. Lalu sebelum bibi cukup jauh gue sadar. “Bibi, tunggu deh.”
“Iya. Kenapa, Fan?” Bibi berbalik badan, menghentikan langkahnya untuk pulang ke rumahnya.
“Itu apaa, Bi? Kayak pernah liat.”
“Loh, ini makanan yang biasa ada di meja dalem itu. Makanannya emang buat bibi kan?”
“Oh, iyasih. Itu masih utuh ka, Bi? Kenapa dibawa pulang semua, Bi? Mending dimakan di sini kan. Lebih enak tuh kalo kerja sambil ngemil.”
“Ini buat anak-anak di rumah, Fan. Dari hari pertama kerja di sini, anak-anak bibi suka banget sama makanan yang dikasih di sini. Sampe akhirnya setiap hari jam 3 sore gini mereka pada nunggu bibi di rumah bawain makanan ini.” Di akhir ucapannya, bibi gue tersenyum, tergambar paras ibu yang begitu menyayangi anak-anaknya.
“Jadi… itu alesannya kenapa tiap hari bibi gak makan itu sama sekali?”
“Iya Fan. Mendingan kan disimpen buat anak-anak di rumah.”
“Hemm.” Gue hanya diam dengan sedikit kata yang keluar dari mulut bersama rasa kagum yang mendalam.
“Yaudah bibi pulang dulu yah, kasian anak-anak pada nungguin nih di rumah.”
Gue terdiam, melihat bibi melangkah menjauh dari tempat gue berdiri, dengan kedua tangannya yang membawa pelastik berisi makanan favorit anak-anaknya di rumah. Senyum gue mengembang pelan, lalu terbesit di dalam hati ‘Yeah, misteri hilangnya makanan bibi… terpecahkan.’
***
Hari ini adalah hari sabtu, hari terakhir ngampus sebelum libur dua minggu menuju UAS. Gue duduk di pelataran kampus, menikmati tiap menitnya dengan baik, kopi hangat dari semi kantin, para mahasiswa yang berlalu-lalang, dosen-dosen yang berjalan cepat menaiki tangga, juga beberapa kali angin kencang yang membawa debu dari perbaikan jalan di depan.
Dari kejauhan gue melihat Ina, dengan keresahan yang nyaris hilang di wajahnya. Dengan senyum yang hampir tanpa cela, dengan tanpa kesalahan-kesalahan kecil yang selalu gue cari dengan paksa.
Gue hanya diam, melihatnya dari sini, cukup jauh. Sambil terus memandanginya, ‘Hellogoodbye’ menyanyikan ‘Here (In Your Arms)’-nya di headset yang terpasang ke telinga gue. Dan senyumnya cukup memberikan kepastian, bahwa dia dalam keadaan baik.
“Sana samperin, bilang hati-hati besok di jalan. Hahahah” Suara seseorang tiba-tiba mampir dari arah belakang, memecah keheningan yang sejak tadi gue nikmati.
Gue memalingkan wajah, “Yaah si gilaak!” Terlihat Faris tertawa puas atas apa yang terjadi barusan.
“Udah… Samperin Fan, nyesel lu. Dua minggu nanti gak ketemu dia soalnya.”
“Biasa aja lah. Baru dua minggu doang. Hahahah”
“Yee, sok-sok’an.”
“Udah. Kelas dulu deh yuk.”
***
“Pulang jam berapa nih kita?” Faris bertanya sambil melihat jam di handphonenya.
“Maleman ajalah. Lu gak liat noh jalanan najis banget macetnya.”
“Yaudah. Untung besok libur.”
“Gue rasa waktu TIM dibangun, batmer diciptain untuk ini. Untuk orang-orang kayak kita, yang nunggu jalanan lengang untuk pulang.”
“Anjir… jago ya arsiteknya berarti.”
“Hahahh, yoi.” Di hari terakhir ngampus, malah harinya gue dan Faris menghabiskan waktu di batmer. Malam ini lebih ramai dari biasanya, mungkin sama seperti kami… orang-orang ingin menikmati malam di sini sebelum libur panjang yang dimulai besok.
Terlihat jalanan yang lebih padat dari biasanya. Banyak orang yang berlalu-lalang di depan gue dan Faris. Tercium tajam aroma pedas nasi goreng dari beberapa pedagang yang bejejer. Juga hawa minyak panas yang berasal dari pedagang lainnya.
“Eh, besok lo kemana? Ayolah nongkrong di luar kita. Biar gak gabut lagi gue besok”
“Ah, gak bisa gue. Kan udah gue bilang njir, pokoknya tiap minggu gue gak mau kemana-mana, mau nonton kartun pagi di TV.”
“Yaelaaah. Sebenernya sama sih, gue juga gitu, tapi kadang nyokap gue ngomel kalo liat gue nonton kartun. Dia bilang, udah gede harusnya nonton berita atau apalah tontonan yang sesuai umur.”
“Yah, gak seru nyokap lu. Nyokap gue mah selow. Kerjaannya tidur di kamar sambil ngurusin anak kesangannya.”
“Siapa anak kesayangannya?”
“Pou. Game android, modernisasi dari tamogoci.”
“Hah, Anjir. Pou? Kentang hidup yang gak jelas itu? Hahah kacau nyokap Lu! Hahahh.”
“Iya, parah yak. Salah satu dampak teknologi tuh begitu.”
“Yah, nyokap gue kalo gue belum makan aja gak boleh berangkat. Kayak waktu gue begadang ngerjain tugas, Ris, editing workvis H-1.”
“Oh itu, yang lu udah begadang semaleman ngedit film workvis dan besok pagi harus dikumpulin, terus paginya nyokap lu ngelarang lu berangkat, karena khawatir lo belum tidur. Hahahah, itu mah gilak nyokap lu!”
“Iya, gak jelas njir. Kalo tau gitu, buat apaan gue begadang semaleman.”
“Hahahahh, Udah mending besok lo di rumah aja, urusin itu tuh misteri hilangnya makanan bibi di rumah lo. Gimana udah beres belom tuh?”
“Waah telat lu. Udah beres itu. Nanti deh gue ceritain, kapan-kapan.”
“Di bilang ajak jalan Ina gak percaya.”
“Dia besok udah pulang nyet.”
“Hah. udah Fix emang yak? Berangkat jam berapa dia?”
“Fix lah. Jam 10 malem ini keretanya berangkat. Barusan dichat dia bilang sekarang lagi di OASIS sama temen-temennya. Gue tanya ngapain belum dibales.”
Seiring ucapan gue berakhir, saat itu juga handphone gue bergetar. Terlihat pesan dari Ina masuk. Lalu dengan sesuatu yang bergerak dalam dada, gue membuka pesannya, membacanya…
Gue menunjukan pesan itu ke Faris, Tidak jauh berbeda dengan gue, dia diam. Namun, di antara diam kami yang sama tampak luar, ada hal yang berbeda di dalam. Mungkin diam Faris adalah diam karena mendapati kabar yang tak terduga, dan diam gue adalah diam karena mendapati kenyataan pahit bahwa ada hati yang harus kehilangan.
“Tuh kan, Fan… Gue bilang apa. Mimik lo beda tuh abis baca pesan itu. Akuin ajalah, sama dia lo udah melebehi level suka. Hahahahh.” Tanpa menggubris ucapan Faris, gue meminum kopi dengan pelan.
“Dari kemarin omongan lo tuh udah nunjukin itu. Lo bilang lo pengin banget jadi bagian dari kesibukan dia, pengin cepet-cepet liburan biar dia bisa cepet pulang. Itu tanda kalo lo udah bukan sekedar suka, lo udah berharap sesuatu yang melibatkan dia, lo berharap bisa sama dia.” Faris melanjutkan ucapannya.
“Kaga, kaga… Gue gapapa. Mikir positif aja. Inget yang dulu gue bilang kan, soal kebetulan itu gak ada. Nah ini adalah perpisahan antara gue dan Ina yang dirancang diam-diam sama Tuhan. Semuanya udah ada yang ngatur, kita mah jalanin aja.” Gue berbicara dengan tenang. Menutupi banyak kegelisahan yang tumbuh dari dalam.
“Iya, dan lo udah melewatkan dia.”
“Gak juga lah, gak ada alasan untuk gue ngejar dia.”
“Masih aja nanya alesan. Tanpa sadar, lo udah punya banyak alesan. Waktu tau dia bakal pergi, mimik muka lu langsung berubah gini. Hahahah”
“Gak ngerti gue nyet. Udah skip aja lah, cari topik lain. Hahahahh”
“Ah, si kampret. Balik aja yuk, gue ada urusan mendadak nih di rumah.” kata Faris, sambil membaca pesan di handphonennya
“Yah, duluan deh. Gue masih mau di sini.”
“Serius? Yaudah gue balik duluan, jangan depresi lu sendirian di sini. Hahahh”
“Kampret lu!” Gue berusaha tetap tenang, sambil melihat ke arah Faris yang mulai menyalakan mesin motornya. Gue menutupi kegusaran yang tumbuh di dalam dengan baik. Sampai Faris pergi dengan motornya melewati jalan raya yang sudah cukup lengang, dan dia menghilang dengan cepat dari pandangan gue.
Gue melihat ke handphone yang memaparkan angka 23:00. Jalanan sudah sangat sepi, aroma masakan dari pedagang di sini juga mulai redup, dan mungkin sekarang Ina sudah duduk di bangku nyamannya, pada salah satu gerbong kereta yang mengantarnya pulang. Melihat ke jendela yang gelap dan sedikit berembun dari luar. Lalu nampak biasan cahaya dari lampu lalu lintas dari beberapa kendaraan di jalan, dan melihat ke langit pada bulan yang berbentuk bulat sempurna. Sambil menyandarkan wajahnya ke jendela, mata Ina pun terpejam sedikit demi sedikit, menikmati rasa nyaman di kereta dan perasaan tenang karena hendak segara pulang, lalu siap untuk tertidur dan berharap saat bangun sudah sampai di tujuan.
Yaa, gue masih di sini, diam, hanya menerka-nerka apa yang terjadi di sana. Mungkin benar, cara terbaik untuk mengenang seseorang adalah dengan mendoakannya, dan gue berharap semuanya tetap baik-baik saja, kepada Ina, kepada orang-orang yang menunggunya di rumah, dan kepada gue yang berharap dia kembali.
Pesan itu cukup menabrak gue sampai sekarang. Menimbulkan kegusaran yang tumbuh dari mulai kecil sekali, lalu makin lama makin besar. Menenggelamkan harapan yang dulu sudah tumbuh dari mulai besar sekali, lalu makin lama makin kecil, dan makin lama makin tidak terlihat. Gue jadi ingat bagaimana siang tadi gue melihat Ina di kampus dari kejauhan, lalu malam ini menelan kenyataan bahwa siang tadi adalah kali terakhir gue menatap bulat bola matanya. Siang tadi adalah kali terakhir gue menyembunyikan rasa gugup tiap kali pupil matanya mengarah tajam ke gue.
Satu hal yang mengganggu pikiran gue adalah, kenapa gue harus gelisah atas kabar ini, atas ilusi-ilusi yang gue buat yang menjauhkan gue dari kenyataan yang tidak mengenakan, kenyataan bahwa dia adalah sebuah alasan untuk banyak hal. Kenyataan bahwa dia bisa saja sempurna, dia bisa saja tanpa cela, dan gue bisa saja benar-benar jatuh hati kepada dia.
Sekarang dia dalam perjalanan yang menyenangkan. Tanpa dia tau, ada orang yang benar-benar tertabrak atas kepergiannya di sini. Tanpa dia tau, di saat dia sedih karena tak pernah bisa mendapatkan orang yang dipujanya, ada orang lain yang diam-diam selalu menyimpan foto profilnya. Lalu, di antara perasaan yang selama ini gue sembunyikan, kenyataan yang selama ini gue tutupi, dan rindu yang berkali-kali mati bersembunyi… gue takut dia gak kembali.
***
“Assalamuallaikum.” Gue melihat nyokap sedang menonton TV seperti biasanya.
“Walaikumsalam…” Matanya menatap gue tajam yang tertunduk lemas melepas sepatu di samping pintu rumah. Nyokap memalingkan wajahnya ke jam dinding, “Duuuuh Fandi, tiap hari pulangnya tengah malem terus, kayak gak tau aja harus pulang ke mana!”
“Iya ma, maaf.” Sambil tetap berjalan pelan, gue menjawab ocehan nyokap seadanya.
Melihat anaknya sedang dalam keadaan tak baik. Naluri ke-ibuannya terpanggil. Nyokap menghampiri gue dan bilang, “Fan… biar tetep bisa ngadepin masalah apapun di luar, kamu harus temuin tempat untuk pulang.” Dengan naluri ke-ibuan dan perhatiannya yang melekat erat, nyokap menatap gue nanar.
“Iya, maaa.” Sekali lagi, gue menjawab ucapan nyokap seadanya. Tanpa melihat ke arahnya, gue menaiki tangga dengan pelan, melangkah lelah menuju kamar.
Gue berbaring di ranjang dengan banyak sekali beban di atasnya. Menatap ke langit-langit kamar dan berusaha membuat ilusi-ilusi yang menjauhkan gue dari kenyataan pahit barusan. Berusaha membuat ilusi-ilusi bahwa gue baik-baik saja. Terasa beberapa kali angin malam yang menyeruak dari sela-sela jendela. Langit nyaris hitam pekat, namun bulan berbentuk bulat sempurna, menyiratkan cahaya yang menampakan bayangan seseorang, di bawah rindu yang menyala. Headset di telinga gue memainkan lagu ‘Hold Me Down’ dari ‘Motion City Soundtrack’. Gue sangat menikmatinya.
Gue jadi inget ucapan nyokap barusan… ‘biar tetep bisa ngadepin masalah apapun di luar, kamu harus temuin tempat untuk pulang.’ Mungkin maksud nyokap, pulang bukan sekedar rumah ini atau tidur nyenyak di kamar ini. Mungkin pulang lebih dari sekedar itu. Lebih dari sekedar tempat dimana seseorang menjadi dirinya seutuhnya. Atau tempat yang melindungi kita dari hujan, panas, dan segala yang dunia lemparkan ke arah kita. Bukan, bukan hanya sekedar itu. Namun, apapun itu, mungkin sekarang gue hanya harus menemukan tempat untuk pulang. Seperti Faris dengan kartun di TV pada minggu pagi. Seperti nyokap dengan acara di TV pada malam hari. Seperti bokap dengan kursi bambu favoritnya pada minggu sore. Seperti kakak gue dengan kamar tidurnya pada tiap weekend. Dan seperti bibi dengan anak-anaknya di rumah tiap jam 3 sore.
Mulai sekarang, gue akan segara mencari tempat untuk pulang. Dan gue harap, gue tidak akan pernah kehilangan tempat gue pulang. Seperti bokap yang kehilangan kursi bambu favoritnya. Gue juga berharap, gue akan merasa bahagia ketika gue pulang nanti. Seperti rasa bahagia bibi saat melihat anak-anaknya memakan makanan yang dibawakannya dari tempat kerja setiap hari.
Handphone gue bergetar tiba-tiba, menyambar ke seluruh bagian ranjang, membuat gue bangun dari sebuah pola yang sedang gue buat sendiri.
Gue mengambil hadphone, terlihat pesan dari Ina di layar, lalu gue menatapnya lama, membukanya….
Sepertinya gue mulai mengerti. Mungkin benar, pulang adalah sebuah hal, seperti film kartun di TV yang tidak pernah dilewatkan Faris tiap minggu pagi. Atau pulang adalah suatu tempat, seperti kursi bambu favorit bokap tempatnya bersantai pada minggu sore yang tenang. Atau pulang adalah sebuah waktu yang tepat, seperti nyokap yang selalu nonton TV pada malam hari. Atau pulang adalah suatu keadaan, seperti kakak gue yang tertidur nyenyak seharian dengan keadaan di kamarnya saat weekend datang. Atau pulang adalah perasaan, seperti bibi yang setia menyisakan makanan miliknya untuk dibawa pulang, dan diberikan kepada anak-anaknya di rumah, lalu merasa bahagia melihat anak-anaknya bahagia. Atau mungkin pulang bisa juga diartikan sebagai sebuah kata yang mewakili itu semua, tergantung bagaimana seseorang menemukan tempatnya pulang. Tapi apapun itu, satu hal yang kini gue sadari… Pulang adalah alasan untuk berangkat.
Dan gue rasa… Ina adalah tempat gue pulang. Tempat mimpi-mimpi gue tumbuh, tempat pengharapan gue muncul, tempat berbagai khayalan bodoh gue lahir, dan Ina adalah alasan untuk banyak hal, keadaan, waktu, dan perasaan.
Sekarang gue akan segera tidur. Lalu besok setelah bangun nanti, gue akan menghampiri nyokap dan bilang… “Ma, aku udah temuin tempat untuk pulang.
Comments: no replies