Gue adalah anak ke-3 dari tiga bersaudara. Dua kakak gue perempuan. Yang pertama udah menikah sejak lama dan tinggal di luar kota dengan suaminya. Hingga kini mereka memiliki dua orang anak perempuan, dan hidup bahagia selamanya. Mudah-mudahan selamanya.
Selanjutnya, kakak gue yang ke-2, perempuan, dia adalah alasan untuk postingan blog ini. Usianya 24 tahun, kisah cintanya penuh liku-liku, hobinya tidur sambil nyabutin bulu ketek, lulus SMA dengan nilai terbaik, cita-citanya jadi guru tapi kandas seiring dengan hobinya yang terus menerus memaksa dia terbaring di ranjang. Mungkin kini dia ingin menjadi pencabut bulu ketek terbaik di dunia. Bahkan, dia pernah ngambek berhari-hari dengan orang satu rumah karena alat cabut bulu keteknya ilang. Dia juga pernah gak negor gue seminggu karena alat cabut bulu keteknya gue lempar ke tong sampah.
Btw, kakak ke-2 gue ini namanya Via, Nur Ana Via. Yang gue suka, namanya terdiri dari tiga kata yang tiap katanya terdapat tiga huruf pula. Yang gue gak suka, keteknya, alat pencabut bulu keteknya, dan hobi menyabuti bulu keteknya.
Meski begitu, dia cukup berjasa, sosok kakak yang teladan untuk adiknya, gue. Selain pintar perihal akademis, dia juga cukup membantu keuangan keluarga, hingga nyokap gue sangat bangga dengannya. Ya, dia pekerja keras, gak seperti kelihatannya.
Kakak ke-2 gue, di usianya yang ke-24, dia akan menikah. Pada bulan Mei ini. Di tahun 2016 ini.
Seminggu sebelum kakak gue menikah, nyokap pusing, sibuk, sentimen, tiduran, nyabutin bulu ketek, kayak kakak gue. Gue sendiri juga pusing, ke sana ke mari, beli itu beli ini, jadi terpaksa ikut sibuk, dan kalo udah capek, gue ke kamar nyokap, tiduran, nyabutin bulu ketek bareng nyokap. Sedangkan bokap gue, tidur, duduk, tidur, duduk, tidur, duduk, sambil mikir, kenapa dia cuma tidur dan duduk terus. Lalu, kakak gue, sebagai calon mempelai wanita, dia sangat sibuk, menyabuti bulu keteknya lebih giat lagi, menyabutinya lebih dalam lagi. Gue hanya berdoa, semoga dia tidak menyabutinya lebih dalam dan keras, hingga kulit keteknya tertarik, lalu keteknya bocor, dan darah mengalir deras dari keteknya, lalu rumah gue kebanjiran darah keteknya, sedangkan dinding rumah gue yang baru saja di cat hijau akan menjadi merah karena darah keteknya, lalu orang-orang rumah hanyut tenggelam bersama darah keteknya, dan pernikahannya di undur. Mudah-mudahan tidak ya Tuhan. Amin.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Dinding rumah gue di cat, yang sebelumnya berwarna hijau muda, kini di cat menjadi hijau tua, inovatif sekali. Sedikit renovasi juga dilakukan di sana-sini. Kamar gue pun di rapikan, kasur gue di bersihkan, tv, meja, gitar dan furnitur lainnya di kamar gue, di poles hingga terasa baru. Padahal, pernikahan kakak gue dan kamar gue adalah dua hal yang tidak berkaitan sama sekali.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Rumah kami yang sepi, setelah menjadi sepi sejak kakak pertama gue menikah, kini akan semakin sepi setelah satu minggu lagi kakak gue akan menikah, dan pergi, tinggal di rumahnya yang baru, bersama suaminya.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Pintu rumah gue berkali-kali di ketuk. Berkali-kali menerima tamu. Hingga kadang, tamu-tamu di rumah gue tiba bersamaan, bertemu, berkenalan, bicara, mengobrol, lama sekali, tentang kehidupan dan cita-citanya masing-masing. Sementara bokap gue yang menyambutnya gak tahu harus apa, hingga ia meninggalkan mereka di ruang tamu, pergi ke kamar, tiduran, dan menyabuti bulu keteknya.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Bokap gue yang sakit ini terus berpikir. Bagaimana agar dia bisa melangsungkan pernikahan anaknya tanpa kendala, atau sakitnya tidak menjadi penghalang bagi kelangsungan acara.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Bokap gue yang lemah ini begitu sering terbaring. Sambil terbenak dalam hati, bagaimana mendampingi ijab kabul anaknya dengan tidak berbaring, melainkan berdiri tegap mendapingi putrinya, dengan penuh percaya diri, dan keyakinan tinggi.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Bokap gue yang tidak bisa berjalan ini terus saja duduk termenung. Bagaimana kedua kakinya bisa melangkah ringan mengantar anaknya menuju kursi mempelai.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Nyokap gue yang lugu ini, dengan segala naluri keibu’anya, dan segala keterbatasannya, berusaha keras mempersiapkan yang terbaik, segala yang terbaik. Meski kakak gue selalu bilang, “gak usah mewah dan ribet. Yang penting terlaksana dan lancar.”
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Nyokap gue, pada hampir setiap malam, selalu mampir ke kamar putrinya. Menyapanya, berbicara dengannya. Dengan perasaan tak siap kehilangan bercampur senang, nyokap gue berusaha untuk tak melewatkan waktu bersama putrinya, di kamar putrinya. Selagi bisa, setiap malam, dan tak berjarak.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Nyokap gue banyak bicara, bercerita, kepada gue, kepada kakak gue di rumah. Tentang pernikahan putrinya, tentang nyokap dan bokap, tentang gue dan bokap. Cukup sering, bersama dengan sadarnya, bahwa ia akan melewati hari-harinya di rumah tanpa putrinya, hanya dengan gue, anak lelakinya yang bodoh. Sedang putrinya, selalu saja membantu ketika keluarga kami bertikai. Atau jika tidak bisa membantu, kakak gue lah yang menjadi tempat nyokap menangis, berteriak, sesak, mengeluh dan bangkit lagi. Sedang gue hanya terbaring di kamar, dengan earphone di telinga, sambil menahan tangis, berusaha tak berteriak, menahan sesak, menahan keluh, hingga kembali bangkit setelah melihat nyokap bangkit.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Nyokap gue yang sakit ini, berusaha keras menyembuhkan sinusnya, atau paling tidak sedikit membaik. Hingga vlek pada sisi hidungnya tidak membesar dan mengluarkan darah bercampur nanah di acara pernikahan putrinya.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Gue memberikan kendali penuh atas remot tv di kamar gue. Dengan program dan volume yang boleh dia atur sebebas-bebasnya.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Gue manatapnya, melihatnya gelisah, melewati hari-harinya yang semakin dekat tiap kali ia bangun tidur. Menghitung hari tiap kali ia hendak tidur.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Gue hanya berharap, mereka tidak lekas berpisah.
Seminggu sebelum kakak gue menikah. Semoga keluarga kami melaluinya dengan mudah.
Minggu, 22 Mei 2016.
Di kamar, tiduran, sambil nyabutin bulu ketek.
Comments: no replies