Pohon-pohon berdiri culas di sisi-sisi jalan. Kunang-kunang menyelisik di antara dedaunan. Cahayanya berwarna hijau, merelap-relap di antara jaring-jaring biru–yang berkelindan di dahan-dahan–yang susah payah dirajut laba-laba merah. “Nowhere shines but desolate and drab,” dan Disintegration mengalun di kepala saya. Bergidik saya ketakutan, sebelum akhirnya menangis lirih, “and now that I know that I’m breaking to pieces”. Saya hancur. Disintegration mengiringi saya dalam kehancuran itu. Keputusasaan itu, kehampaan itu. Dalam mimpi buruk itu. Mimpi buruk yang indah itu.
Beberapa hari yang lalu, seseorang mengirim tautan YouTube ke WhatsApp saya. Tautan itu berisi satu lagu yang menurutnya aneh, cara bernyanyinya aneh, “Tertawa tapi seperti menangis, seram, mirip orang gila,” katanya. Namun dia sangat suka lagu itu dan meminta saya mendengarnya juga. Saya pun mengirimkan lagu serupa menurut versi saya–“Lullaby”–milik The Cure, sekaligus menyarankannya mencicip album Disintegration. Mendengarnya tidak membuat saya gila. Namun lagu ini aneh, seram tapi menyenangkan, gelap tapi menakjubkan. Cara bernyanyi Robert Smith yang romantik itu, memberi sensasi horor yang menggelitik. Apalagi kala dia berbisik, “Spiderman is having me for dinner tonight”.
Perkenalan saya dengan The Cure seolah seperti apa yang didefinisikan Carl Jung sebagai “kebetulan yang berarti”. Waktu itu saya sedang mendengar “Gouge Away”-nya Pixies di YouTube. Lalu secara kebetulan, YouTube mengarahkan video musik berikutnya ke “A Forest” versi live. Saya yang saat itu sedang mengetik, enggan menggubrisnya.
Sial buat saya, sudah susah payah keluar dari perangkap gramatikal, malah terjebak di dalam hutan. Synth legato yang kosong, disusul fill gitar yang mengalun minor hingga satu menit, sukses membangun atmosfer mistis yang elusif. Hingga kemudian, drum mendadak tiba dengan ketukan penuh mengisi kekosongan yang ditinggalkan synth, serta bassline yang terdengar “kendur” dan dalam, menarik saya pelan-pelan. Sound gitar “A Forest” terdengar tak lazim di dekade 1980-an. Flagging yang digunakannya, sesaat mengingatkan saya dengan “The Adventure” milik AVA yang dulu saya kagumi saat SMA itu. Hampir dua menit mereka berkelana tanpa vokal. Anehnya, meski secara teknis tak serumit “The Adventure” yang gitarnya berlapis-lapis itu, “A Forest” jauh lebih mengagumkan. Dan tak seperti “The Adventure” yang berupaya membawa kita ke angkasa, “A Forest” sangat membumi–dan tak muluk-muluk–membuat saya mengitari pepohonan yang rimbun menutupi cahaya bulan. Gelap. Tak ada suara, sampai Robert Smith berbisik, “Come closer and see, see into the trees, come closer and see, see into the dark,” dan saya pasrahkan diri saya terjerembab ke dalam hutan.
“I am a forest, and a night of dark trees: but he who is not afraid of my darkness, will find banks full of roses under my cypresses.”
– Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra
Bagi saya, Disintegration adalah album terpenting di dekade 1980-an (yang pernah saya dengar). Layak sekali disejajarkan dengan album (yang menurut saya) penting lainnya yang juga lahir dalam dasawarsa yang sama. Sebut saja Doolittle dan Surfer Rosa (Pixies); Power, Corruption & Lies (New Order); Entertainment (Gang of Four); Speaking in Tongues (Talking Heads); Madonna (Madonna); Indahnya Sepi (Chandra Darusman); The Joshua Tree (U2); Double Fantasy (John Lennon and Yoko Ono); The Queen is Dead (The Smiths); Let’s Dance (David Bowie); dan tentu saja, sebuah mahakarya yang juga lahir di dekade ini, Daydream Nation (Sonic Youth). *sujud*
Secara tematis dan sonik, album yang dirilis tahun 1989 ini gelap, suram, muram, kosong, dan depresif. Jarang sekali saya memutarnya (loudspeaker) di ruang publik yang “terang”. Jarang pula saya menemui teman yang sependapat tentang album ini, kecuali satu–waktu itu (beberapa tahun lalu)–teman kampus saya mengunggah cover album Disintegration di story Instagram-nya, dan berujar Disintegration sebagai album terbaik The Cure. Senang dengan pernyataannya, saya pun iseng membalas unggahan tersebut–“Lullaby”. Tanpa basa-basi, dia membalasnya, “Love Song”. Saya senang, meski agak kecewa dengan pilihannya. Lantaran kami sama-sama menggilai “Soul Love”-nya Bowie, memuja Television, dan dia juga orang yang memperkenalkan saya pada Brian Eno, dengan iming-iming “lebih glam dibanding Bowie”. Saya pun kepincut dengan “The Paw Paw Negro Blowtorch”, sementara dia lebih sering memutar “Cindy Tells Me”. Namun dalam nomor Disintegration, kami tak sependapat. Mungkin kala itu dia sedang jatuh cinta. Mungkin.
Disintegration yang suram itu pun menjadi warisan terpenting dalam subkultur goth (gothic). Sampai-sampai, The Cure sering kali disebut sebagai pionir genre gothic. Padahal, Bauhaus-lah sang pembuka jalan. Lewat “Bela Lugosi’s Dead” yang dirilis 1979, Bauhaus mendefinisikan apa yang disebutnya sebagai musik goth, sementara lewat “A Forest” (1980), The Cure mendefinisikan goth rock. Meski istilah goth rock sudah disematkan ke The Doors pada 1967, tetapi label itu lebih mengacu pada performance The Doors di atas panggung, bukan musik mereka. Sedangkan The Cure, lebih mengawinkan post-punk yang berkembang di CBGB tahun 1970-an; Buzzcoks, dengan avant-garde ala The Velvet Underground; serta permainan ambience yang dibangun Brian Eno.
Sejak Faith (1981) dan Pornography (1982), Robert Smith, vokalis The Cure, menjelma jadi simbol kesuraman pada awal dekade itu. Lalu Disintegration membawanya naik menjadi–tidak sekedar simbol–melainkan nabi dari kesuraman, yang muram, gelap, dan depresif. Pornography dimulai dengan baris “Doesn’t matter if we all die,” sementara Disintegration dibuka dengan “I think it’s dark and it looks like rain”. Dalam buku biografi Never Enough: The Story of The Cure, Jeff Apter menyebut Smith selalu menangis di akhir konsernya memainkan nomor-nomor dalam Faith (1981). Pada akhirnya, kesuraman lebih melekat pada sang vokalis dibanding The Cure itu sendiri. Smith memang pendiri dan pemimpin band, tetapi dia bukanlah secret ingredient dari sekian gubahan The Cure, selayaknya Flea di Red Hot Chili Pepper. Bukan pula one man show seperti Alex Turner. Sosoknya pun tidak se-flamboyan Freddie Mercury yang nyentrik-eksentrik itu. Wajah Smith bahkan cenderung canggung, meski tak secanggung Ian Curtis di atas panggung.


Boleh jadi, penampilan Smith-lah yang seolah jadi personifikasi dari subkultur ini. Wajahnya pemalu dan muram. Suaranya terdengar romantik dan melankolis. Belum lagi, rambut gondrong smith yang ikal dan berantakan itu, yang menginspirasi Tim Burton merancang Edward Scissorhands (1990), dan mengilhami Neil Gaiman menggambar The Sandman.
![]() ![]() |
![]() ![]() |
Oh, jangan lupakan juga lipstik di bibirnya yang selalu luntur itu. Namun, Smith tak merancang personanya sebagai imaji goth. Ia mengaku mengenakan lipstik dan berpenampilan demikian hanya untuk menutupi pribadinya yang pemalu, sekaligus membuatnya lebih percaya diri.
“I started wearing it because it made me feel confident and more attractive, …. But on stage I always used to lean my mouth on the mike and shut my eyes so I wouldn’t have to see the people.”
– Robert Smith, Never Enough: The Story of The Cure
Disintegration ditulis Smith dalam keadaannya yang tengah berjuang melawan depresi. Smith pernah berujar ingin membuat mahakarya sebelum dia berusia 30 tahun. Saat itu tahun 1988, Smith mendekati usia 30, bertunangan dan pindah ke sebuah rumah baru di London. Depresinya memuncak dengan kepergian salah satu pendiri The Cure, Lol Tolhurst (drumer) dari band lantaran jadi pecandu alkohol kronis. Smith melarikan diri dari kekecewaannya dengan mengkonsumsi LSD/narkotika. Di rumah baru yang ia dan tunangannya tinggali itu, Smith menulis beberapa lagu sendirian tanpa anggota bandnya. Dalam depresinya, lagu-lagu yang suram dan menyedihkan pun lahir. Sampai-sampai, Smith punya rencana cadangan untuk merekam album solo jika teman-temannya di The Cure menolak materi muramnya.
“I would have been quite happy to have made these songs on my own …, If the group hadn’t thought it was right, that would have been fine.”
– Robert Smith, Never Enough: The Story of The Cure
Bukan tanpa alasan Smith berujar demikian. Barangkali, ia belajar dari apa yang terjadi dengan kibordis The Cure sebelumnya, Matthieu Hartley, yang meninggalkan band pasca Seventeen Second (1980), dengan alasan tak menyukai konsep kesuraman dan depresi yang dianut The Cure.
“I realised that the group was heading towards suicidal, sombre music …, the sort of thing that didn’t interest me at all.”
– Matthieu Hartley (kibordis)
Untunglah, anggota band yang lain mendukung penuh materi baru Smith. Mereka pun merampungkan materi-materi itu sepanjang musim dingin, dan lahirlah album dingin, Disintegration.
Plain Song
Disintegration dimulai dengan “Plain Song”. Sebuah pembuka album paling evokatif sepanjang masa. Hadir di tengah-tengah tanah lapang yang kosong. Di mana tepi langit tampak dari segala arah, beberapa lonceng berdenting dalam kehampaan, sebelum akhirnya meledak dan menjelma jadi pembuka yang megah. Sangat masuk akal Sofia Coppola memakainya untuk mengiringi penobatan Louis XVI dalam Marie Antoinette (2006).
Pictures of You
Kebakaran pernah melanda rumah Smith. Ketika sedang memilah-milah sisa-sisa kebakaran itu, dia menemukan dompetnya yang berisi foto-foto istrinya, Mary Poole. Momen itu mengilhami Smith menulis “Pictures of You”, sebagai nomor kedua dari Disintegration.
Hampir serupa “Plain Song”, “Picture of You” juga terdengar megah sejak menit pertama. Dimulai dengan ketukan drum yang ngotot dalam tempo lambat, diiringi bassline Simon Gallup yang tak kalah ngotot juga. “I’ve been looking so long at these pictures of you, that I almost believe that they’re real,” kata Smith setelah mengawang-ngawang hampir dua menit dengan genta angin, dan gitar monoton yang repetitif.
“Pictures of You” memiliki getaran yang optimis, setidaknya begitulah yang terasa di awal. Namun, liriknya menyiratkan kerinduan dan kebimbangan yang menyebalkan, “Remembering you fallen into my arms, crying for the death of your heart, ou were stone white, so delicate, lost in the cold”.
Closedown
Ketakutan Robert Smith mencapai usia 30 tahun, memang menjadi bahan bakar utama dari album Disintegration. “I’m running out of time,” kata Smith dalam “Closedown”. Ia menyadari bahwa frustasi terbesar menjadi tua adalah ketidakmampuan merasakan emosi yang kuat lagi. Dalam versi saya: “Sinisme memasuki dunia kita, dan kita menjadi mati rasa”.
Lovesong
Di tengah turbulensi emosional Disintegration, “Lovesong” hadir sebagai sebuah anomali. Ditulis oleh Smith sebagai hadiah pernikahan untuk istrinya, Mary Poole. Berbeda dari biasanya, kali ini Smith menyatakan perasaannya dengan sangat lugas, jujur, sederhana, dan tanpa kiasan. “However far away, I will always love you, however long I stay, I will always love you, whatever words I say, I will always love you,” menjadi baris yang membawa “Lovesong” ke momen pop paling agung The Cure.
“It’s an open show of emotion and it’s taken me ten years to reach the point where I feel comfortable singing a very straightforward love song.”
– Robert Smith, Never Enough: The Story of The Cure
Sejujurnya, saya benci “Lovesong” ada dalam Disintegration, lantaran menodai kesuraman yang disuguhkan album ini. Namun, daya tarik universal “Lovesong” mengantarkan The Cure ke jajaran pop dunia yang patut diperhitungkan. Dari 311 hingga Adele, semua orang meng-cover “Lovesong”. Kita semua menyanyikan “Lovesong”.
Last Dance
Lupakan kehangatan dalam track ke-5 itu. Nomor berikutnya, “Last Dance”, menyajikan kedinginan di hari Natal. Kembali dengan synth hampa dan riff gitar yang minor. “But Christmas falls late now flatter and colder, and never as bright as when we used to fall,” cara bernyanyi Smith yang melankolis itu, bak angin dingin yang berhembus halus menembus sweter.
Lullaby
“Lullaby” adalah nomor yang membuat saya memuja The Cure sekaligus Disintegration-nya. Saat pertama kali mendengar “Lullaby”, saya bergidik, menangis. Lalu saya menulis begini di memo handphone saya saat itu juga:
“Lagu yang indah. Indah sekali. Salah satu lagu terbaik yang pernah gue denger. Nggak rumit, mudah dinikmati. Terdengar fresh tapi familiar, dan familiar tapi fresh”.
“Lullaby” adalah lagu yang indah buat saya. Tidak dibangun dengan nada-nada yang rumit dan sulit diakses. Perasaan yang sama seperti dulu, kala saya pertama kali mendengar “Autumn Leaves”; “Beast of Burden”; “Incinerate”; “Welcome to the Black Parade”; “Weird Fishes/Arpeggi”; “When We Were Young”; “Star Treatment”; “Orpheus”; maupun “Venice Bitch”.
Tengah malam saat kita hendak pergi tidur, ada laba-laba di sudut kamar. Diam-diam tertawa, menggelengkan kepalanya, menunggu kita terlelap, dan perlahan mendekat, menyapu wajah kita dengan kaki-kakinya yang berbulu.
“Lullaby” adalah ode pengantar tidur paling menakutkan. Smith yang bernyanyi dengan cara berbisik itu, serta suaranya yang melankolis dan romantik itu, seolah menambah kengerian dalam “Lullaby” dan memberi sensasi horor yang menggelitik. “And I feel like I’m being eaten, by a thousand million shivering furry holes,” mimpi buruk yang indah, ketakutan yang menggugah. Pengantar tidur yang sempurna.
Fascination Street
“Fascination Street” adalah nomor dengan tempo paling emosional. Bassline Simon Gallup membawa musik ke arah yang menegangkan. Sejalan dengan Boris Williams yang alih-alih memberi kesempatan Hi-Hat-nya berbunyi, ia justru memukul snare dengan ngotot dari kursinya. Sementara synth, gitar, dan piano hadir bak dekorasi yang lembut, berkelip-kelip di sepanjang lagu. Namun, lagi-lagi, suara Smith menambah kesan baru di trek yang emosional dan mendebarkan ini, yakni frustasi.
Saya sangat suka bagian dimana Smith menceracau, “so just pull on your hair, just pull on your pout,” lalu dengan frustasi berteriak, “And let’s move to the beat like we know that it’s over,” dan menjadikan “Fascination Street” sebagai lagu yang punya chorus paling emosional dalam Disintegration.
Prayers For Rain
Selain “Lullaby”, “Prayers For Rain” adalah lagu tergelap di album ini, “You strangle me entangle me, In hopelessness and prayers for rain.” Smith dan Thompson menggunakan flagging dan delay yang tipis. Sementara synth yang mengalun lambat dan murung, menghujani kita sampai kuyup.
The Same Deep Water as You
“The Same Deep Water as You” adalah lagu dengan durasi terpanjang di Disintegration. Dalam sembilan menit, saya merasa tertekan dan menyedihkan. Dimulai dengan hujan dan petir yang sesekali menyambar, Smith menggambarkan dirinya yang tenggelam dalam, dan semakin dalam, ke hubungan cinta yang intens, tetapi hancur.
The very last thing before I go
The very last thing before I go
The very last thing before I go
I will kiss you, I will kiss you
I will kiss you forever on nights like this
I will kiss you, I will kiss you
And we shall be together
Saya pun turut tenggelam, diiringi gemercik hujan dan petir yang perlahan-perlahan mereda dan menghilang.
Disintegration
“Disintegration” adalah sebuah mahakarya. Saya ingin menulisnya begitu saja. Lantaran saya bingung bagaimana mengungkapkan betapa saya sangat memujanya. Bukan lagu terbaik, tetapi adalah masterpiece. Sulit menjelaskannya. Kira-kira sama seperti “Giorgio by Moroder”, “Paranoid Android”, “The Lady Don’t Mind”, “Glory Box”, maupun “Monkey Gone to Heaven”, menurut preferensi pribadi saya.
Ada kaca yang pecah sebelum musik dimainkan. “Disintegration” indah sejak awal. Depresif sejak chord pertama dibunyikan. Saya hanyut dan hancur pada intro. Disonansi bass dan gitar yang sangat janggal. Ada feedback panjang yang samar. Synth menghantui dari belakang. Disusul riff gitar yang yang sangat melodic, berbarengan dengan distorsi gitar dalam akor penuh yang dibunyikan satu kali dalam setiap ketukan 4/4. Indah sekali.
Dengan putus asa, Smith bernyanyi, “Yeah, I miss the kiss of treachery, the shameless kiss of vanity”. Pada interlude, mereka mengulang lagi gubahan dari intro yang maha-depresif itu, berbeda dengan Smith yang pada verse berikutnya bernyanyi lebih emosional dan depresif. Seperti tangga dramatik dalam three-act structure, Smith semakin marah dan putus asa seiring Disintegration mengalun.
Dengarlah betapa marahnya Smith meneriakkan verse terakhir:
So it’s all come back round to breaking apart again
Breaking apart like I’m made up of glass again
Making it up behind my back again
Making it afraid for the fear of sleep again
Pushed in deep to bare bone again
Take him outside like he’s all on his own again
Round and round and round, it’s coming apart again
Over and over and over
Dia melantangkan “again” di akhir setiap baris. Seolah menekankan betapa marahnya dia, lagi, dan lagi. Sebelum akhirnya sampai di klimaks “Round and round and round,” disusul antiklimaks “Over and over and over”.
Saya juga suka sekali baris ini–ritme vokal yang unik:
Dropping through sky, through the glass of the roof
Through the roof of your mouth, through the mouth of your eye
Through the eye of the needle, it’s easier for me
To get closer to heaven than ever feel whole again
Pada paruh akhir “Disintegration”, Smith menangis liris, melantunkan “How the end always is,” dan dalam keputus-asaannya yang melelahkan, ia berujar “always is”.
*versi live-nya asoy banget fren!
Homesick
Jujur saja, saat pertama kali mendengar “Homesick”, saya pikir ini bukan The Cure. Punya nuansa yang berbeda, “Homesick” dibangun dengan piano dan gitar yang polos dan clean. Bass Simon Gallup pun tidak ngotot seperti biasanya. Yang makin membuatnya berbeda dari nomor-nomor lain, “Homesick” diisi dengan Cello yang membuat lagu ini terasa pedih.
Smith baru bernyanyi pada menit ke-3, “Hey hey, just one more and I’ll walk away,” kata Smith dengan pasrah. Smith pun bergumam “dududu dududu” yang menambah kepedihan “Homesick”.
“Homesick” tidak se-emosional nomor lainnya. Mendengarnya lebih membuat saya melamun dan pasrah, dalam perasaan tertekan dan putus asa.
Untitled
The Cure mengakhiri Disintegration dengan ragu-ragu. “Untitled”. Sebuah tembang yang menyedihkan dan penuh keraguan, sampai-sampai Smith tidak bisa menyebutkan apa judulnya.
Never quite said what I wanted to say to you
Never quite managed the words to explain to you
Never quite knew how to make them believable
Tentang kesempatan yang terlewatkan, peluang yang sirna, yang kita harap dapat kita ambil lagi, dalam hal cinta, dalam hal apapun. “Untitled” mengantarkan perasaan kesepian yang dalam, di antara keraguan, keputusasaan, dan harapan yang sia-sia. Sebuah ironi yang dilantunkan dalam 6 menit, sangat sempurna untuk menutup Disintegration yang maha-depresif.
Comments: no replies