Selamat jum’at malam. TGIF!
Pagi tadi gue mual-mual, muntah-muntah, kejang-kejang. Setelah makan pagi yang manis, dengan polosnya gue nonton video pendek Syahrini di instagramnya. Saat itu gue sadar bahwa Syahrini sangat mulia. Syahrini mengajarkan kita bahwa uang bisa membeli apapun, kecuali selera.
Seperti biasa, sore yang sejuk gini gue keliling Jakarta pake motor. (oke, cuma muterin kampung deng).
Sekarang gue lagi ada di tempat cuci motor. Duduk ganteng di ruang tunggu, menghadap ke puluhan motor yang berbaris, menanti untuk di eksekusi. Sementara motor yang lain sedang pasrah di gerayangi oleh tangan-tangan gahar para pegawainya, dengan sepatu both dan kanebo berwarna kuning pudar di pundaknya.
Bangku tunggu ini nyaris penuh, ada banyak tipe orang disini. Sisi kanan gue laki-laki berumur 22 tahun (kira-kira aja), yang dari tadi terus menatap handphone di tangannya dengan headset di telinga yang meluncur dari handphone tersebut, dan gue benci waktu tau kalo ternyata dia nonton bok*p. Iya gue benci, soalnya jadi harus diem-diem lihat ke handphone-nya. Dan yang mengganggu pikiran gue adalah, “Ngapain sih nih kampret nonton bok*p di tempat cuci motor?”.
Di sisi kiri gue anak umur 17 tahun, Kelas 2 SMA, bintangnya virgo, makanan favoritnya singkong (sumpah, gue cuma ngira-ngira). Anak ini dateng sama temen sebayanya yang duduk di sebelah kanannya. Mereka adalah yang paling berisik di sini. Sebenernya gak masalah juga, supaya yang terdengar gak melulu suara air. Tapi satu hal, mereka adalah tipe orang yang paling gue gak suka di dunia ini… sok ganteng dan gak lucu.
Lebih jauh di sudut kanan ada laki-laki dewasa yang dari tadi asik menyulut rokok yang terselip di kedua jarinya, dan di sebelahnya ibu-ibu sedang menutup hidung dan mulut dengan telapak tanganya, tampak gelisah.
Sementara jauh di sudut satunya, beberapa orang berjejer. Ada satu orang yang menarik perhatian gue untuk sesekali menengok ke dia dan kembali melihat handphone si orang sebelah gue. Perempuan yang sudah di sini sebelum gue. Rambutnya panjang, mukanya manis, dan gede…. hatinya. Gue rasa juga putih…. lehernya. Pandangannya lurus kedepan. Tidak ada headset yang melekat di telinganya. Tangan kanannya megang handphone, tangan kirinya megang tangan orang, tangan pacarnya.
Udah hampir 60 menit di sini. Motor gue belum juga di sentuh. Kayaknya masih butuh berpuluh-puluh menit lagi untuk meninggalkan tempat ini. Seiring berjalannya waktu, diambang kebosanan yang memuncak, gue cuma mau bilang sama orang di sebelah kanan gue “Mas, headsetnya satuan dong”, tapi gue gak berani.
Btw, tempat cuci motor itu kadang kurang ajar yah. Mereka mematok harga yang ganjil, 12rb atau 8rb. Bikin kita terpaksa harus merelakan uang kembaliannya. Secara gak langsung maksa kita ngasih uang tip dari kembalian itu.
Di tengah tengah penantian panjang, ada yang menarik perhatian dari depan, di luar tempat cuci motor ini. Dua anak kecil main petak umpet. Gue gak typo kok, cuma berdua. Yang satu jaga, yang satunya ngumpet. Udah gitu ngumpetnya gak jauh-jauh amat dari tempat yang jaga. Dan lagi yang jaga harus ngitung sampe 50. Pertanyaan gue, seberapa lama 1 orang ngumpet sampe harus dikasih durasi 50 hitungan. Mereka aneh sekali, semoga mamanya tetap mencintai mereka.
Gak cuma gue, beberapa orang disini juga pandangannya teralih sama dua bocah aneh ini. Bocah aneh yang lama-lama lucu juga, dengan kepolosan, kegoblokan, dan ketidak jelasan mereka. Kadang juga beberapa dari kami tertawa kecil dibuatnya. Dua bocah ini sukses mengallihkan pandangan gue dari handphone di sebelah kanan dan cewek manis di sudut kiri.
Udah satu jam lebih gue di sini. Beberapa orang satu persatu menyerah, mereka membawa motornya dan meninggalkan tempat ini dengan mimik kesal dan lesu. Sementara gue dan yang lainnya tetap bertahan pada satu alasan, sampai motor kami selesai di cuci dan bersih.
Ngomong-ngomong soal menunggu… Gue rasa semua orang sedang dalam masa penungguan. Gue yakin semua orang sedang menunggu.
Mungkin di luar sana banyak. Ada orang yang sedang menunggu akhir bulan untuk gajian. Ada yang menunggu weekend datang untuk kumpul sama temen-temennya. Ada juga yang menunggu hari minggu untuk bisa tidur seharian di kamar. Ada yang sedang menunggu libur panjang tiba, dan segera bertemu pacar kesayangan pulang dari pengejaran cita-citanya. Ada juga yang selalu menunggu tanggal merah untuk mampir ke bandung bertemu istri tercinta. Ada yang menunggu lebaran untuk pulang ke kampung halaman. Ada yang menunggu hari libur selesai supaya bisa kembali ke kampus dan terbebas dari libur panjang yang penat. Ada juga yang sedang menunggu panggilan kerja di handphonenya. Ada yang menunggu seseorang lewat di depan kelasnya. Ada yang menunggu nilai ujiannya tertera di mading. Ada yang menunggu bel pulang sekolah berbunyi. Ada yang berdiri di sudut jalan pada tengah malam, menunggu seseorang membuka gerbang rumahnya. Ada yang menunggu acara favoritnya di TV. Ada yang menunggu seseorang keluar dari pintu toilet. Ada juga yang sejak lama menunggu seseorang yang dicintainya putus dengan kekasihnya. Ada yang menunggu dalam resah, sebuah jawaban setelah menyatakan cinta. Ada yang menunggu mantan kembali ke pelukan. Ada yang menunggu orang yang dicintainya dalam diam segera tau. Ada yang menunggu statusnya jelas. Ada yang menunggu lukanya sembuh setelah putus cinta. Dan ada yang menunggu sesuatu untuk bisa ditunggu.
Sama seperti disini. Ada yang tetap setia menunggu, ada yang terlalu sering mengeluh, ada yang menikmati penantiannya, dan sama seperti disini, ada yang satu persatu menyerah.
Gue sendiri menunggu banyak hal, terlalu banyak. Sampai gue gak tau mana yang seharunya gue prioritaskan.
Jarum panjang di jam dinding, mungkin sudah bergerak hampir 120 kali. Tanpa sadar, gue sudah disini cukup lama dan motor gue pun mendapatkan gilirannya. Gue jadi berpikir tentang orang-orang yang baru saja meninggalkan tempat ini sebelum mendapat gilirannya. Berpikir tentang orang-orang yang menyatakan ketidakmampuannya untuk menunggu.
Banyak orang yang setuju kalau “Menunggu itu menyakitkan.” Mungkin kalimat itu kadang berlaku, tapi gue rasa itu bukan tentang apa yang di tunggu, hanya saja cara menunggu nya yang salah. Kebanyakan orang menunggu dengan sangat sabar, kesabaran yang sangat tebal sampai memenuhi dinding-dinging batasnya, dan hancur. Menunggu dalam diam, diam yang sangat panjang, semakin panjang dan meledak menerobos ke luar.
Kebanyakan orang terlalu fokus kepada penungguannya. Fokus dengan cara diam. Ini masalahnya, kesalahan terbesar dalam menunggu adalah menunggu dalam diam. Hanya diam, tanpa melakukan apapun, dengan semua suara kesepian di kepala, dan kegelisahan yang tumbuh semakin besar.
Penungguan yang baik adalah dengan cara menyibukan diri, tanpa melupakan sesuatu yang sedang kita tunggu. Menyibukan diri dengan banyak hal sampai masa penungguan itu selesai. Sedangkan diam hanya akan menumbuhkan rasa baru yang disusul dengan perasaan lainnya.
Saran paling gampang dari gue untuk orang-orang yang sedang menunggu adalah, sibukan diri kalian pada masa penungguan.
Gue yakin, semua orang sedang menunggu.
Semua orang sedang dalam masa penantian.
Semua orang sedang di penungguan.
Untuk apapun itu.
Kadang kita menunggu dengan cara yang menarik dan menyesatkan, seperti seseorang di samping kanan gue dengan handphone di tangannya. Kadang kita menunggu dalam suasana yang seru, seperti dua orang sok ganteng disamping kiri gue. Kadang kita menunggu dalam keadaan yang menenangkan dan tanpa sadar menyakiti orang lain, seperti lelaki yang berada jauh di sudut kanan gue dengan rokok di selip jarinya. Kadang kita menunggu dalam sesak, namun tak bisa berbuat banyak, seperti ibu-ibu yang berada tepat di samping perokok. Kadang kita menunggu dalam perasaan yang menyenangkan, seperti perempuan manis di sudut kiri, dengan kekasih di sampingnya. Dan kadang juga kita menunggu dalam suasana yang menggembirakan, seperti beberapa orang disini yang memperhatikan dua bocah bermain petak umpet.
Semuanya sama, berada dalam masa penungguan. Dan semuanya juga sama, menyibukan diri mereka dalam masa penungguannya. Yang beberbeda adalah, tiap orang punya cara masing masing dalam menyibukan diri di ruang tunggu.
Kadang kita menunggu dalam diam, menunggu dengan ketidak pastian, menunggu pada waktu yang tabu. Seperti orang-orang disini, yang satu persatu menyerah meninggalkan ruang tunggu.
Dan sama seperti disini. Semua orang punya caranya sendiri dalam menunggu.
Yang harus kita lakukan adalah percaya. Menyibukan diri kita dalam keadaan apapun, dengan cara kita sendiri.
Menunggu itu seperti ada dalam sebuah perjalan. Perjalan jauh menuju suatu tempat. Pilihannya adalah kita mau terjaga dan melihat pemandangan di sekitar, atau tertidur sampai perjalanan selesai, atau berhenti di tengah jalan dan kembali pulang.
10 menit sebelum genap 3 jam gue di sini, motor gue sudah bersih di tempatnya. Jauh dari ekspektasi gue. Menit-menit yang bikin tulang ekor gue perih, akhirnya sudah berakhir. Gue kembali mengitari Jakarta dan pulang (oke… Cuma ngelewatin beberapa blok, bentaran).
Untuk menunggu yang sangat melelahkan. Kepada penantian yang menyita banyak kesabaran. Dan penungguan yang membuat jarum jam berputar-putar. Gue selalu percaya dengan konsep ilmiah. Konsep penguraian metabolik senyawa organik oleh mikroorganisme yang menghasilkan energi yang pada umumnya berlangsung dengan kondisi anaerobik dan dengan pembebasan gas. (Sory, gue sedang berusaha kelihatan pinter-_-) maksud gue ‘Fermentasi’.
Iya, gue serius.
Menunggu adalah proses. Seperti susu yang difermentasi menjadi yoghurt. Kalau waktunya tepat, rasanya pasti lezat.
Comments: no replies